Jumat, Maret 11, 2011

45 Tahun Supersemar

Pada 11 Maret 1966 lima setengah bulan paling menegangkan dalam sejarah Indonesia merdeka mulai berakhir. Pada tanggal itu Presiden Soekarno menandatangani sebuah surat. Di situ ia menyuruh Jenderal Soeharto mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengembalikan keamanan.

Dalam kenyataan, meski pasti bukan maksud Soekarno, Supersemar menjadi legitimasi pengambilalihan kekuasaan oleh Soe- harto. Dan, Soeharto tak ragu-ragu. Ia langsung melarang Partai Komunis Indonesia dan segera—tanpa menghiraukan protes Presiden Soekarno—menangkap sekitar 12 menteri Kabinet 100 Menteri, lalu membentuk kabinet baru. Sejak tanggal itu kekuasaan efektif di negara RI terletak di tangan Soeharto, yang baru melepaskannya pada 21 Mei 1998.

Empat puluh lima tahun kemudian peristiwa historis itu tetap kontroversial. Tak bisa tidak. Terlalu kompleks situasi dan kondisinya, terlalu raksasa dampaknya bagi bangsa Indonesia, dan terlalu mengerikan jumlah korbannya. Saya ingin menceritakan bagaimana saya waktu itu mengalaminya meski cerita itu barangkali shocking.

45 tahun lalu
Saat itu saya mahasiswa teologi di Yogyakarta. Saya hidup bersama rekan-rekan mahasiswa muda tarekat rohaniwan Yesuit. Percayakah Anda bahwa kami menyambut berita di radio tentang peristiwa Supersemar dengan bersorak gembira? Bahwa kami merasa seakan-akan sebuah beban kekhawatiran gelap terangkat. Reaksi kami itu sendiri ada sejarahnya.

Sejak mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, 29 Januari 1961, saya cemas dengan ancaman komunis. Bagi saya, komunisme—sesudah nasional-sosialisme Nazi—adalah ideologi paling jahat dan berbahaya: antara 1917 dan 1991 kaum komunis membunuh lebih dari 100 juta orang, sedangkan Nazi antara 1933 dan 1945 membunuh 12 juta orang, tanpa menghitung korban perang.

Saya dapat kesan bahwa PKI maju di semua front. Di mana-mana papan merah PKI dan BTI terpasang. Sesudah Nasakom—persatuan ”revolusioner” Nasionalisme, Agama, dan Komunisme—dipermaklumkan Presiden Soekarno, segenap ungkapan kritis terhadap komunisme dihantam sebagai komunisto-fobi.

Akhir 1964, sebanyak 20 koran pembawa tulisan antikomunis Sayuti Melik ”Badan Penjebar Sukarnoisme” ditutup dan Partai Murba dinonaktifkan. Januari 1965, Soekarno membawa Indonesia keluar dari PBB. Secara internasional Indonesia terisolasi. Sejak akhir 1964 teman saya, para mahasiswa rohaniwan muda Indonesia, yang sebelumnya semua pengikut antusias Soekarno, berkesan mulai meragukan Soekarno.

Pada Agustus 1965 kami dengar kabar burung bahwa Soekarno jatuh sakit dan 10 doktor RRC yang katanya dibawa Ketua PKI Aidit dari Beijing dalam sebuah memo rahasia hanya memberikan tiga bulan lagi kepada Presiden. Suasana tegang meliputi negara. Kami merasa sesuatu akan terjadi.

Sesuatu itu terjadi pada 1 Oktober. Kami di Yogyakarta terus mendengarkan RRI. Sekitar siang hari kami mulai menyangka bahwa ”Gerakan 30 September”, nama yang dipakai oleh gerakan itu sendiri, berhaluan kiri. Malam hari suara Jenderal Soeharto mengumandang lewat RRI bahwa gerakan itu sudah dihancurkan. Kami menyambutnya dengan agak lega.

Namun, Yogyakarta sepertinya diliputi ketakutan. Jalan-jalan dan pasar-pasar sepi. Se- akan-akan orang sudah tahu bahwa darah telah mengalir dan darah akan mengalir lagi (di Yogyakarta pun yang dikuasai selama 16 hari oleh ”Dewan Revolusi”, Komandan Korem 72, Kolonel Katamso, dan stafnya, Letkol Sugiono, dibunuh oleh pasukan mereka sendiri). Orang masih ingat Peristiwa Madiun: kedua belah pihak membunuh jauh lebih banyak orang daripada yang ”perlu secara operasional”.

Kami merasa tegang. Segera menjadi jelas, Presiden Soekarno tak bersedia menonaktifkan PKI sebagaimana dituntut oleh semakin banyak kekuatan antikomunis. Apakah beliau akan berhasil menyelamatkan PKI?
Pada 16 Oktober pasukan yang ”terlibat” meninggalkan Yogyakarta. Kami dengar adanya bentrok di kawasan Klaten-Jatinom. RPKAD mulai ”membersihkan” kampung demi kampung dengan kader-kader tertinggi sering langsung dieksekusi. Pada bulan-bulan berikut kami juga mendapat berita tentang pembunuhan besar-besaran terhadap komunis di Jawa Timur dan Bali. Gelap dan mengerikan.

Di Jakarta, demonstrasi antikomunis kian menjadi. Namun, kesannya Presiden Soekarno lama-kelamaan berhasil merebut kembali inisiatif. Pada Februari dibentuk Kabinet 100 Menteri. Jenderal AH Nasution harapan kami tak lagi termasuk. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) malah dilarang. Semua itu berakhir pada 11 Maret 1966 itu.

Tiga tahap

Melihat kembali, sebaiknya kita membedakan tiga tahap. Yang pertama adalah kejadian 1 Oktober 1965 dan buntut langsung. Saya tak akan masuk ke dalam spekulasi tentang siapa dalang G30S. Yang jelas, pada hari itu, pagi-pagi, enam jenderal tinggi Angkatan Darat dan ajudan Kapten Pierre Tendean diculik dan dibunuh.
Gerakan itu di Jakarta sudah dipatahkan pada malam hari yang sama dan berakhir sesudah benteng-bentengnya di Solo dan Yogyakarta menyerah. Untuk mematahkan PKI secara definitif, sebenarnya cukup kalau PKI, yang tak memperlihatkan kemampuan melawan, dilarang dengan—barangkali—para kader inti ditahan dulu serta semua yang betul-betul terlibat dalam penculikan dan pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta dibawa ke pengadilan. PKI pasti tidak akan bisa bangkit lagi.

Namun, larangan tak turun. Pada pertengahan Oktober 1965 mulai tahap kedua, tahap paling mengerikan. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, pembersihan dilakukan RPKAD, tak ada pembunuhan dari pihak nonmiliter. Pembunuhan dalam jumlah yang betul-betul di luar segala imajinasi terjadi di Jawa Timur dan Bali, tetapi juga misalnya di Flores dan melibatkan masyarakat nonmiliter. Setidaknya 500.000 orang terbunuh. Ini satu dari lima genosida di dunia pada bagian kedua abad ke-20!

Siapa bertanggung jawab? Soeharto-kah yang memerintahkannya? Apakah dibiarkan berlangsung tanpa ada perintah apa pun? Andai kata PKI langsung dilarang, apakah pembunuhan mengerikan itu barangkali tidak terjadi? Tak ada jawaban. Tak ada jawaban juga mengapa bangsa Indonesia terlibat dalam sesuatu yang sedemikian tak manusiawi!

Namun, tak ada keraguan sedikit pun bahwa Soeharto dan jenderal pembantunya bertanggung jawab 100 persen atas kejahatan tahap ketiga: penangkapan jutaan orang (Sudomo pernah menyebut angka 1,9 juta orang) sebagai ”terlibat” ketika hanya satu hal pasti bahwa mereka tak terlibat dalam arti apa pun.

Secara sistematis dan birokratis jutaan saudara dan saudara sebangsa dikeluarkan dari komunitas solidaritas bangsa, dihancurkan nama baiknya, dirusak keluarga dan perekonomiannya, banyak yang disiksa, perempuan diperkosa, difitnah, dirampas kebebasannya. Mereka adalah yang dianggap ”terlibat”, anak dan cucu mereka, serta mereka yang ”tidak bersih lingkungan”.

Yang golongan C, meski cukup cepat dilepaskan tetap terkena stigmatisasi, ada tanda di KTP. Pekerjaan tertentu tertutup bagi mereka, mereka harus secara teratur lapor, anak-anak mereka susah masuk sekolah. Puluhan ribu orang dari kategori B, meski tak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan hukum, dianggap rada penting dan ditahan dalam kamp-kamp khusus, termasuk di Pulau Buru. Sisa sebanyak puluhan ribu baru dilepaskan sekitar tahun 1979 atas desakan Presiden AS Jimmy Carter.

Tak jelas mengapa kejahatan itu dilakukan. Sampai hari ini tak ada pengakuan terhadapnya. Cukup memusingkan mengapa sebagian besar bangsa Indonesia tak pernah menunjukkan tanda terkejut berhadapan dengan kekejaman dan kejahatan sedemikian banyak warga sebangsa. Soe- harto dan kawan-kawannya membawa dosa itu ke kubur mereka. Namun, mereka hanya dapat melakukannya karena merasa mendapat dukungan. Itulah yang sulit dimengerti.

Lalu apa? Bangsa lain pun ada yang mempunyai noda-noda dalam sejarahnya, misalnya bangsa Jerman. Barangkali situasi waktu itu memang dilematis.
Minimal sekarang, 45 tahun kemudian, kita seharusnya berani berhenti berbohong, berani mengakui mereka yang sampai sekarang tak mau diakui sebagai korban. Seharusnya kita bertekad bahwa kita tak akan pernah lagi mengizinkan sekelompok orang dikucilkan dari solidaritas bangsa, dibiarkan menjadi obyek kebencian, kekerasan, dan barangkali pembunuhan hanya karena berbeda kepercayaan atau keyakinan politiknya.
 
"Franz Magnis-Suseno SJ Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta"

Jumat, Maret 04, 2011

Putusan MK Buka Peluang Penetapan di Yogyakarta

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara uji materi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua terkait dengan mekanisme pemilihan gubernur membuka kemungkinan bisa ditetapkannya gubernur-wakil gubernur di daerah yang diakui sebagai daerah istimewa, seperti Yogyakarta. Kesimpulan ini terlihat di dalam pertimbangan hukum MK halaman 38 putusan bernomor 81/PUU-VIII/2010.

Hal tersebut diungkapkan oleh pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin di Jakarta, Kamis (3/3).
Pasal 18 B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat Khusus atau bersifat Istimewa yang diatur dengan Undang-Undang”. Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), pengakuan adanya keragaman itu mencakup sistem pemerintahan serta hak dan kewenangan yang melekat di dalamnya, adat istiadat, serta budaya daerah yang dijamin dan dihormati melalui penetapan UU.

Menurut MK, pengakuan itu termasuk pengakuan atas hak asal usul yang melekat pada daerah yang bersangkutan berdasarkan kenyataan sejarah dan latar belakang daerah tersebut. ”Artinya, menurut Mahkamah, jika dapat dibuktikan dari asal usul dan kenyataan sejarah, daerah tersebut memiliki sistem pemerintahan sendiri yang tetap hidup dan ajek, tetap diakui dan dihormati yang dikukuhkan dan ditetapkan dengan undang-undang (UU),” demikian terungkap dalam putusan MK tersebut.

Irman mengungkapkan, putusan ini memang bersifat prospektif. MK memberi penegasan bahwa selama ada keistimewaan yang dapat diterima dan diakui UU, tidak ada masalah konstitusional terkait mekanisme pemilihan kepala daerah setempat termasuk dengan penetapan. Dalam konteks RUU Keistimewaan DIY, penetapan gubernur pun bukan hal yang inkonstitusional.

Hal tersebut, tutur Irman, sekaligus menjawab kegundahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang mengamanatkan agar kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Dengan pertimbangan MK tersebut, pengisian jabatan kepala daerah di sebuah daerah istimewa—baik melalui penetapan maupun tanpa melalui pemilihan demokratis—tidak bertentangan dengan konstitusi. ”Tentunya asalkan sesuai dengan kriteria yang dibuat MK dan ditetapkan melalui UU,” kata Irman.
Sementara putusan MK yang menolak permohonan uji materi DPR Papua dan Papua Barat menjadi jaminan KPU melaksanakan pemilihan umum kepala daerah. Direktur Democratic Center Universitas Cenderawasih Mohammad A Musaad di Jayapura mengungkapkan, tuntutan gubernur/wakil gubernur dipilih DPRD tidak sesuai dengan kondisi sosial politik masyarakat Papua yang lebih menghendaki pemilihan langsung. Putusan MK diyakini tidak akan menimbulkan protes dari masyarakat yang lebih menginginkan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat

Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Manokwari Barnabas Mandacan mengatakan, masyarakat sudah menunggu lama putusan MK ini. Selama ini mereka dibuat bingung dan tidak pasti bagaimana sebenarnya aturan memilih kepala daerah mereka. Padahal, masyarakat menginginkan bupati atau gubernur dipilih langsung. (ANA/THT/RWN)

Pemekaran Tiada Ujung

Bangunan dua lantai yang megah itu sungguh mengenaskan. Pilar-pilar besarnya mulai retak. Kaca-kaca jendela pecah, sebagian dikotori berbagai coretan iseng. Semak liar merambat ke mana-mana.
Bangunan kosong di Kolonodale, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, itu mirip rumah hantu. Di depannya terhampar perbukitan indah yang mengapit Teluk Towari.
”Pada hari Minggu, banyak anak muda berpacaran di sini,” kata Andri Koem (28), warga Kolonodale, akhir Februari lalu.
Gedung itu adalah kantor Bupati Morowali. Selesai dibangun tahun 2006, fasilitas itu tidak pernah difungsikan. Ibu kota Kabupaten Morowali yang asalnya dirancang di Kolonodale keburu dipindah ke Bungku. Aset bernilai miliaran rupiah itu pun mubazir.
Kesia-siaan juga terjadi pada kantor DPRD serta kantor dinas-dinas yang berjejer tak jauh dari tepian teluk. Kompleks itu sekarang bagaikan monumen kegagalan program pemekaran.
Semua itu berawal dari pemekaran Kabupaten Morowali dari Kabupaten Poso. Undang-Undang (UU) Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Morowali menyebutkan, ibu kota kabupaten baru itu di Kolonodale. Lima tahun kemudian, ibu kota bakal dipindahkan ke Bungku.
Saat itu Kolonodale dipilih sebagai ibu kota karena cukup memadai. Sementara persiapan infrastruktur di Bungku butuh waktu lama. Kerancuan lokasi ibu kota inilah—yang diboyong- boyong bak piala bergilir—pangkal masalahnya.
Saat pemindahan ibu kota tahun 2007, warga Kolonodale sontak protes. Bergabung pula sejumlah kecamatan tetangga, seperti Mori, Mori Atas, Mori Utara, Wita Ponda, Bintang Jaya, dan Mamosalato. Mereka menuntut wilayahnya dijadikan kabupaten terpisah, yaitu Kabupaten Morowali Utara dengan ibu kota Kolonodale.
Selain ada perkantoran pemerintahan tadi, Kolonodale memang juga punya beberapa fasilitas, seperti pelabuhan, pasar, dan Depot Pertamina. Alasan lain, Bungku, yang berjarak sekitar 115 kilometer dari Kolonodale, dianggap terlalu jauh.
”Jalan ke sana juga rusak parah. Kami sulit memperoleh pelayanan pemerintahan,” kata Syamsuddin (40), warga Kolonodale.
Terhadap tuntutan ini, Bupati Morowali Anwar Hafid mengaku sudah mendesak pemerintah pusat agar segera menanggapi aspirasi itu. Masalahnya, apa pun yang dilakukan pemerintahannya saat ini selalu dikaitkan dengan pemekaran. Hal ini menjadi benih konflik serius.
”Situasinya sudah mengganggu. Bahkan, kami sudah dianggap pemerintah kabupaten tetangga,” katanya.

Banggai
Kekisruhan serupa melanda Kabupaten Banggai Kepulauan yang dimekarkan dari Kabupaten Banggai. Persoalannya juga terkait dengan pergeseran ibu kota. UU Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Banggai mengatur, ibu kota kabupaten baru itu di Pulau Banggai. Lima tahun kemudian dipindahkan ke Pulau Salakan.
Ketika ibu kota diboyong ke Salakan tahun 2007, warga Pulau Banggai meradang. Meletuplah bentrokan dengan petugas kepolisian. Tiga orang tewas.
Warga kemudian memblokir pasokan kebutuhan pokok dari Pulau Banggai menuju Salakan. Memang, selama ini sebagian kehidupan warga Salakan bergantung pada Pulau Banggai yang punya pelabuhan dan infrastruktur perekonomian lebih lengkap.
Saking kesalnya, warga Pulau Banggai sempat mengancam pindah ke Provinsi Maluku Utara. Semua papan nama kantor bertuliskan Provinsi Sulawesi Tengah diganti dengan tulisan Maluku Utara. Lagu-lagu Maluku dan Ambon ramai diputar.
Kemarahan itu mereda setelah muncul janji untuk menjadikan Pulau Banggai dan beberapa pulau lain sebagai kabupaten baru, yaitu Kabupaten Banggai Laut. Wilayahnya mencakup sekitar 400 pulau besar dan kecil dengan ibu kota di Pulau Banggai.
Kini rencana pemekaran Kabupatan Morowali Utara dan Kabupaten Banggai Laut sama-sama masih belum jelas. Proses itu tersendat kebijakan moratorium (penghentian sementara) pemekaran oleh pemerintah pusat.

Tiada ujung
Sudah dari dulu Sulteng dibalut cerita pemekaran. Berdasar data BPS Sulteng, provinsi ini berdiri sendiri tahun 1964 dengan Kota Palu sebagai ibu kota. Ada empat kabupaten di dalamnya: Donggala, Poso, Buol-Tolitoli, dan Luwuk Banggai.
Dengan wilayah daratan seluas 68.033 kilometer persegi, Sulteng menjadi provinsi terluas di Sulawesi. Hal ini mendorong pemekaran. Awalnya, tahun 1993, hanya Kabupaten Donggala yang dipecah menjadi Donggala dan Kota Palu.
Seiring dengan kebijakan otonomi daerah pada tahun 1999, beberapa kabupaten lain juga dipecah-pecah. Kabupaten Poso dipilah menjadi Poso dan Morowali. Buol-Tolitoli menjadi Buol dan Tolitoli. Luwuk Banggai menjadi Banggai dan Banggai Kepulauan.
Pada tahun-tahun berikutnya, Donggala dipecah lagi menjadi Parigi Moutong dan Sigi. Sebagian Poso dijadikan Kabupaten Tojo Una-Una. Hingga akhir tahun 2008, Sulteng terdiri dari 10 kabupaten dan satu kota.
Seperti kisah di atas, muncul kemudian tuntutan membentuk Kabupaten Morowali Utara yang terpisah dari Morowali serta Kabupaten Banggai Laut dari wilayah Banggai Kepulauan. Lebih dramatis lagi, lima kabupaten di wilayah timur (Poso, Tojo Una-Una, Banggai, Banggai Kepulauan, dan Morowali) juga mau membentuk provinsi sendiri, yaitu Provinsi Sulawesi Timur.
Pemekaran bertubi-tubi itu sejatinya punya tujuan mulia: membentuk kabupaten dengan cakupan wilayah terjangkau. Dengan demikian, setiap pemerintah daerah bisa bekerja lebih efektif mengurus wilayahnya. Hal itu meliputi pengembangan infrastruktur, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
”Pemekaran itu salah satu jalan keluar untuk memajukan wilayah terbelakang. Terus terang, di luar Kota Palu, ke-10 kabupaten di Sulteng masih terhitung daerah tertinggal. Inilah tantangannya,” kata Wakil Gubernur Sulteng periode 2006-2011, Ahmad Yahya.

Kekhawatiran
Apakah tantangan itu terjawab lewat pemekaran? Agaknya masih butuh waktu lama. Pada tahun-tahun awal, pemerintahan hasil pemekaran tentu sibuk menyiapkan fasilitas perkantoran.
Begitu fasilitas tersedia, belum tentu berbagai masalah di wilayah itu segera tertangani. Pemerintahan hasil pemekaran kadang terjebak dalam semangat bagi-bagi kekuasaan. Terciptalah kerajaan-kerajaan kecil.
”Gejala-gejala itu ada. Pemerintahan baru itu menjadi sulit dikontrol karena diperkuat semacam mafia kekuasaan yang saling melindungi,” kata Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat Sulteng Muhammad Masykur.
Kekhawatiran lain, pemekaran cenderung ditempatkan sebagai terapi instan untuk meredam konflik. Begitu konflik reda, niat memajukan wilayah dan menyejahterakan rakyat justru kerap terlupakan. Belum lagi, biasanya ada saja elite politik lokal yang memanfaatkan isu ini sebagai komoditas politik—katakanlah sekadar demi meraup simpati dalam kampanye pilkada.

Cepat Selesaikan Koalisi

Wakil Ketua DPR Pramono Anung (kiri) dan peneliti Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, berbicara dalam diskusi "Menimbang Efektivitas Pemerintahan" di Akbar Tandjung Institute, Jakarta, Kamis (3/3). Diskusi tersebut membahas kondisi politik dan efektivitas pemerintahan.

Kisruh koalisi partai pendukung pemerintah dan wacana perombakan kabinet (reshuffle) dinilai terlalu berlarut-larut. Hiruk-pikuk koalisi pendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan elite pemerintahan saat ini cenderung tidak berkaitan langsung dengan beragam persoalan bangsa yang dihadapi masyarakat. Karena itu, sepatutnya Presiden ambil putusan tegas.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Hayono Isman, menilai saat ini merupakan momentum yang tepat bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan perombakan (penyegaran) kabinet. ”Saya rasa perlu dan ini saat yang tepat untuk melakukan reshuffle atau penyegaran di kabinet,” kata Hayono, Kamis (3/3). ”Yang tahu persis kapan saatnya itu Presiden. Tapi, yang jelas jangan sampai politicking mendominasi dan bahkan mengganggu kinerja pemerintah,” lanjutnya.

Desakan agar Presiden segera mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan kemelut koalisi dan reshuffle juga mengemuka dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Maruarar Sirait menyatakan, Presiden Yudhoyono tak perlu ragu merombak koalisi atau kabinet.
Kalaupun dikeluarkan dari koalisi, tak serta-merta Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera akan bergabung menjadi partai oposisi bersama PDI-P. Hal itu mengingat basis ideologi mereka berbeda dengan PDI-P.

”Presiden seharusnya bisa tegas mengatakan, ada atau tidak perombakan kabinet ataupun koalisi. Jangan terus melakukan evaluasi, tapi tidak ada ujungnya. Begitu banyak masalah bangsa dan jangan sampai Presiden justru terbebani dengan persoalan koalisinya,” kata Maruarar.
Hayono meyakini, evaluasi yang dilakukan Presiden mempertimbangkan kepentingan nasional, bukan semata-mata kepentingan partai atau Sekretariat Gabungan. ”Pada saatnya nanti, apa pun keputusan Presiden dalam penyegaran kabinet, sudah pasti diarahkan bagi kepentingan nasional dengan kehadiran pemerintahan yang efektif,” katanya.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti berharap Presiden bersikap lebih tegas soal koalisi. ”Sekarang semua tergantung dari Yudhoyono karena beliaulah pemimpin Sekretariat Gabungan koalisi yang sekaligus Presiden RI,” katanya.

Secara terpisah, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq menyatakan, nasib koalisi sejumlah partai yang mendukung pemerintahan saat ini tergantung dari keputusan Presiden. ”Semuanya terserah apa kata Yudhoyono. Beliau juga punya hak prerogatif untuk reshuffle kabinet,” kata Luthfi, di Jakarta, Kamis. ”Kami berusaha memahami, mempelajari apa mau Presiden. Apa yang beliau inginkan?” ujarnya.
 
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, Partai Golkar tetap komit mendukung Presiden Yudhoyono sampai 2014. Namun, Partai Golkar berupaya memosisikan diri sebagai kekuatan kritis dan menyuarakan aspirasi rakyat. Menurut Akbar, Partai Golkar tidak takut apabila Presiden Yudhoyono memutuskan mendepaknya. (INA/WHY/IAM/NTA)