Jumat, Oktober 01, 2010

Pemecahan Masalah Birokrasi, dan Peranannya yang Sesungguhnya

PENDAHULUAN

Membincangkan masalah birokrasi di Negara ini, tampaknya tetap merupakan topik bahasan yang menarik untuk dicermati. Berangkat dari argumen awal bahwa birokrasi adalah institusi modern yang “wajib ada” dalam khazanah penyelenggaraan pelayanan publik, ia patut dicermati, baik secara teoritik maupun empirik. Pencermatan terhadap kinerja birokrasi inilah, yang nantinya bisa membawa kita pada sebuah penilaian menyangkut orientasi apa yang sesungguhnya di emban oleh birokrasi. Hal ini perlu digaris bawahi, mengingat meskipun birokrasi di yakini sebagai organisasi pelayanan publik, tak seorangpun bisa menjamin bahwa ia mungkin saja berubah menjadi “monster” yang menyengsarakan publik.

Birokrasi dalam keseharian kita selalui dimaknai sebagai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya, semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani urusan orang banyak. Akibatnya, tidak heran jika kemudian muncul persepsi bahwa apapun yang dilakukan oleh pemerintah adalah dalam rangka melayani kepentingan masyarakat, yang diwakili institusi yang bernama birokrasi tersebut. Walaupun persepsi ini mengandung titik-titik kelemahan yang bisa jadi menyesatkan, namun sampai saat ini pemerintah yang diwakilkan oleh institusi birokrasi tetap saja sebagai motor pengggerak pembangunan

Reformasi birokrasi di negara kita sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoretik dan empirik yang luas, mencakup penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi demokrasi kita saat ini.

Namun, kita harus akui bahwa peralihan dari sistem otoritarian ke sistem demokratik (konsolidasi demokrasi) dewasa ini merupakan periode yang amat sulit bagi proses reformasi birokrasi. Apalagi, kalau dikaitkan dengan kualitas birokrasi pemerintahan maupun realisasi otonomi daerah, serta maha sulitnya pengurangan sistematis korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada birokrasi pemerintahan yang diperkirakan semakin sistemik dan merata ke daerah-daerah.

Birokrasi saat ini pun dianggap masih diwarnai nilai-nilai feodalistik. Dalam konsep kerajaan Jawa tradisional, khususnya pada masa kekuasaan Amangkurat. Birokrasi itu priyayi atau abdi-dalem dan dalam strata sosial rakyat tak lebih adalah wong cilik. Di sini, terjadi penjungkir-balikan tesis Weber tentang rasionalitas sebagai wujud keberadaan birokrasi moderen. Birokrasi kita yang bersifat feodal itu adalah irasionalitas, dan bahkan tak jarang mengacu kepada mistisisme.

Belakangan ini, netralitas birokrasi didengungkan sebagai upaya pemberdayaan maupun bagian dari reformasi birokrasi pemerintahan. Namun, itu sulit terwujud dalam kenyataannya. Konteksnya adalah besarnya kepentingan atau bahkan kebocoran anggaran birokrasi pemerintahan, yang perkiraan kasarnya minimal mencapai 30% setiap tahun. Di sini, kita bicara politisasi birokrasi pemerintahan, terutama tarik menarik pengaruh partai-partai politik berkuasa untuk menempatkan orangnya pada posisi-posisi strategis guna menguasai sumber-sumber dana.

Kehidupan birokrasi yang ditumpangi, atau bahkan didominasi muatan-muatan politis oleh peenguasa Negara, jelas menjadikan tujuan birokrasi melenceng dari arah yang semula dikenedaki. Akibatnya, orientasi pelayanan public yang semestinya dijalankan, menjadi bergeser kearah orientasi yang sifatnya politis. Dalam kondisi ini, birokrasi tidak lagi akrab dan ramah dengan kkehidupan masyarakat, namun justru menjaga jarak dengan masyarakat sekelilingnya. Performance birokrasi yang kental dengan aspek-aspek politis inilah, yang pada gilirannya melahirkan stigama “politisasi birokrasi”.

PEMBAHASAN

Sejarah timbulnya birokrasi dalam organisasi pemerintahan diitanahh air ini dimulai sejak zaman kerajaan dahulu. Barangkali warisan sejarah ini bisa dipakai sebagai penyebab pertama timbulnya masalah pada birokrasi kiita dewasa ini. Dahulu raja-raja jawa khususnya dan raja-raja dinusantara ini pada umumnya membentuk birokrasi itu bukan untuk kepentingan rakyat. Para punggowo dan semua orang yang bekerja dikerajaan disebut sebagai abdi dalem atau abdi raja, bukan abdi rakyat. Birokrasinya disebut birokrasi abdi delem. Keberdaannya dalam suatu system untuk kepentingan memperkuat kekuasaan raja. Karena coraknya seperti ini ketergantungan pada kekuuasaan tungggal raja sangat besar. Sifatnya seperti ini selalu membuat birokrasi kerajaan sangat paternalistik. Terikat pada tata cara tradisi yang telah diggariskan pada raja. Kepada rakyat bukan melayani akan tetapi cenderung menekan melalui upeti, srahsrahan atau pajak.
            Ketika belanda datang mereka tidak, mereka tidak merubah dan struktur seperti ini. Bahkan diperkuat dan dipertahankan karena dirasakan tidak bertentangan niat dan system birokrasinya. Setelah agak lama penjajah belanda hanya melakukan perubahan disesuaikan dengan aspirasi birokrasi modern pada tingkat diatas (setingakat residen dan gubernur). Struktur birokrasi kerajaan yang membawahi adipati/bupati sampai ke desa-desa tidak berubah. Itulah sebabnya tataran birokrasi setingkat desa di Indonesia sebelum diikeluarkannya UU Nomor 5 Tahun 1979 mempunyai coorak yang tidak seragam. Di jawa ada desa, di bali ada banjar, di Sumatra barat ada nagari, disulawesi dan di sumtra barat ada kampong, sekarang semuanya menjjadi seragam, disebut desa dan sistemnya banyak tidak sesuai dengan partikular masing-masing tempat. Birokrasi semacam ini jelas tidak demokrastis karena orientasinya bukan kepada kekuuasaan rakyat (demos dan kratos), melainkann untuk kepentingan elit penguasa.
           
Dengan melihat sejarah birokrasi, barangkali ada kaitan sistem birokrasi yang di bangun saat ini denngan yang dahulu. Usaha membanngun birokrasi yang modern telah dilakukan, akan tetappi bersamaan dengan hal itu disana-sini kita mmasih sering mengamallkan sikap dan prilaku warisan lama. Ada semacam ‘dualisme’ atau bahkan ada usaha-usaha ‘monolisme’ untuk kemmbali ke cara-cara kerajaan dahulu.  Masih banyak dijumpai praktik pejabat yang seharusnya mempunyai otoritas membuat kebijakan sendiri, akan tetapi masih tergantung dan menunggu dihawuh dari atasannya. Juga masih sering dan banyak dijumpai pejabat mengirimkan upeti dan potongan beberapa persen dari kontrak untuk kepentingan sendiri. Selain itu berkaitan dengan demokrasi yang berorientasi mengabdi kepada kekuasaan, bukannya kepada rakyat. Sebutan birokrasi atau kopri sebagi abdi Negara (yang cenderung partisan) bisa-bisa memperkuat asumsi bahwa birokrasi dipergunakan untuk memperkuat kekuasaan. Kalau asumsi ini benar ada baiknya sebutan seperti itu diganti dengan sebutan sebagai abdi publik, abdi masyarakat, atau abdi rakyat.
           
            Penyebab kedua, value; membuat birokrasi non partisan belum diselenggarakan dengan baik. Seperti di singgung di muka, birokrasi kita cenderung menjadi partisan dari kekuatan politik yang dominan. Sikap seperti ini membawa birokrasi kurang bisa obyektif untuk kepentingan semua pihak. Dengan kata lain, kurang bisa bersikap demokratis. Tidak semua kekuatan-kekuuatan dalam masyarakat mempunyai akses yang sama kepada birokrasi pemerintahan. Hanya kelompok yang dominan yang bebas dan leluasa mempunyai akses.
           
            Birokrasi semacam ini disebut dengan birkrasi partisan. Nilai atau palue non partisan ini perlu dijadikan pedoman dalam membangun birokrasi pemerintahan. Karena pemerintahan saat ini tampaknya tidak lagi mengikkuuti cara-cara yang menekannkan kepada steering atau mengatur yang banyak berdasaarkan pada kekuasaan tetapi, menekankan kepada rowing (Osborne dan Ggaebler, 1993) yang mendasarkan pada cara-cara demokrasi. Nilai-nilai yang sekarang ini lebih manis diucapkan dan dipidatokan, perlu di kaji ulang nila-nilai seperti meritokrasi, probity (kejujuran), prudence, (kebijakan), service minded, people oriented, accountability, decentralization, accesible to the people, fair, equitable, customer driven, dan lain-lainnya perlu dikaji ulang untuk mewujudkan dalam birokrasi pemerintahan.

Menuju Reformasi Birokrasi

Gejala yang diperlihatkan oleh birokrasi Indonesia pasca bergulirnya Era Reformasi, di mana kecenderungan partai-partai politik untuk menguasia Departemen atau kementrian dan BUMN semakin kuat, adalah fakta baru yang semakin sulit untuk kita hindari. Terlebih lagi disaat kinerja KPN masih terlihat sangat lemah, gejala pitisasi birokrasi tentu harus kita waspadai. Barangkali kita sepakat, bahwa siapapun yang di pilih oleh Presiden untuk menduduki posisi Mentri adalah hak prerogratif sang Presiden sendiri. Tetapi permasalahannya ialah jabatan karier dibawah posisi Mentri serta Dirut BUMN bukanlah jabatan politis lagi. Seorang Dirjen dengan Esolan I.A atau seorang Dirut Pertamina, proses pengankatannya selayaknya haruslah melalui seleksi administrative yang ketat dan terarah, sesuai dengan prinsip-prinsip birokrasi modern. Selain itu, profesionalisme juga merupakan syarat lain yang tidak boleh dikesampingkan begitu saja.
           
Percaya atau tidak, politisasi birokrasi yang dilakukan dengan cara memasukan orang-orang partai politik kedalam struktur Departemen atau Kementrian dan BUMN, berarti membuka peluang bagi terciptanya pengkotakan birokrasi ketika melayani masyarakat. Di samping itu, kebijakan politisasi birokrrasi cenderung menjadikan birokrasi sebagai sarana untuk mencari manfaat-manfaat yang sifatnya ekonomis bagi keuntungan partai politik. Pernyataan ini bukan tentu tanpa dasar. Apa yang disebut oleh Arief Budiman sebagai Bureaucratic Rente diamana dominasi birokrasi Indonesia cenderung dimanfaatkan oleh birokrat untuk menarik keuntungan bagi birokrasi dan birokratnya, adalah sebuah pelajaran yang berharga yang harus kita pahami bersam. Strategisnya posisi birokrasi yang memiliki kewenangan mengelola asset-aset Negara, hendaknya menjadikan kita semua bersikap cermat dalam memilih personi-personil birokrasi yang punya tangggung jawab moral kepada masyarakat.

Menghilanngkan kebijakan politisasi birokrasi di tubuh birokrasi kita, tampaknya merupakan agenda utama yang perlu di realisasikan dalam upaya mereformasi tubuh birokras. Sesuai dengan fungsi utamanya sebagai aktor pelayan publik, birokrasi hendaknya memulai lagkah maju dengan menghilangkan jejak politisasi birokrasi sejauh mungkin. Ada tiga hal upaya yang berkenaan dengan upaya menghilanngkan jejak politisasi birokrasi. Pertama, birokarasi harus steril dari orang-orang partai politik, khususnya untuk posisi jabatan karier mulai dari eselon tinggi (I.A) sampai jabatan terendah (V.B). alsannya adalah jabatan karier ini merupakan jabatan strategis yang sangat menentukan dalam mekanisme pengambiilan keputusan internal organisasi. Oleh karena prinsip kerja birokrasi adalah memaksimumkan efisisensi administrative, maka birokrasii yang steril dari kepentingan politis sebuah partai politik, diharappkan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Kedua, birokrasi harus mengedepankan prinsip meritrokrasi dalam hal rekruitmen personilnya. Artinya, mengingat kebutuhan masyarakat akan pelayanan semakin meninggkata, maka keharusan aparat birokkrasi yang ccapable (ahli) di bidangnya serta mmemiliki kemampuan menterjemahkan keinginan masyarakat adalah kebutuhan mendesak yang tidak bisa diitawar-tawar lagi. Dengan prinsip meritokrasi pula, kebijakan politisasi birokrasi diharapkan bisa dihapus sedini mungkin. Sebab, dengan menjadikan birokrasi sebagai lahan empuk menarik keuntungan bagi para politisasi, maka citra birokrasi akan semakin terpuruk di mata masyarakat. Ketiga, birokrasi harus semakin terpacu dibandingkan masyarakat yang dilayaninya. Tidaklah mungkin karakter birokrasi yang cenderung lamban dan tidak terspesialisasi itu dapat bertahan di zaman yang sedang bergerak cepat ini. Seperti yang dikemukakan oleh Adig Suwandi, reformasi birokrasi harus berkomitmen harus meningggalkan watak lama dan warisan sebagi birokrasi tuukang pungut untuk didorong untuk menjadi birokrasi memberdayakan lingkungan (empowering bureaucratic). Secara eksplisit, argument ini bisa mewakili banyaknya pandangan sekaligus tuntunam masyarakat yang sering kali mengeluh terhadap layanan birokrasi.

Belakangan ini, netralitas birokrasi didengungkan sebagai upaya pemberdayaan maupun bagian dari reformasi birokrasi pemerintahan. Namun, itu sulit terwujud dalam kenyataannya. Konteksnya adalah besarnya kepentingan atau bahkan kebocoran anggaran birokrasi pemerintahan, yang perkiraan kasarnya minimal mencapai 30% setiap tahun. Di sini, kita bicara politisasi birokrasi pemerintahan, terutama tarik menarik pengaruh partai-partai politik berkuasa untuk menempatkan orangnya pada posisi-posisi strategis guna menguasai sumber-sumber dana.

Patut diingatkan, birokrasi pemerintah merupakan suatu kekuatan yang besar sekali, sebab kegiatannya menyentuh setiap kehidupan manusia. Maka, kebijaksanaan yang dibuat oleh birokrasi sangat berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pasalnya, manusia yang hidup dalam suatu negara tertentu terpaksa menerima suatu kebijaksanaan yang telah dibuat oleh birokrasi. Untuk itu, negara kita sering disebut bureaucratic polity.

Yang dilupakan, adalah birokrasi pemerintah sebagai garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah harus bersikap netral, dalam arti dari sisi politik bukan merupakan kekuatan politik. Apabila birokrasi pemerintahan menjadi kekuatan politik, maka ia akan menjadi tidak netral, memihak kepada kekuatan/aliran politik tertentu.

Sesungguhnya, dalam memberikan pelayanan umum birokrasi pemerintah tidak boleh memihak kepada kelompok tertentu, dengan tujuan agar pelayanan umum yang dilakukan bisa diberikan pada seluruh masyarakat, tanpa membedakan aliran atau partai politik yang diikuti oleh anggota masyarakat tersebut. Jelas pula, dalam memberikan pelayanan umum itu, birokrasi pemerintah dituntut lebih efektif dan efisien. Namun, selama ini selalu terkesan bahwa birokrasi pemerintah itu lamban.


Beberapa catatan
Berikut ini catatan tentang tingkat netralitas birokrasi pemerintahan. Pertama, mungkin periode awal kemerdekaan ini, tahun 1945-1950, dapat dikatakan birokrasi pemerintahan kita masih netral. Mungkin, karena masih dijiwai semangat kemerdekaan dan semangat persatuan.

Kedua, tahun 1950-1959, ditandai dengan politisasi birokrasi. Partai-partai politik berlomba-lomba untuk menguasai kementerian. Rekrutmen PNS dan penentuan jabatan tidak obyektif. Kelompok-kelompok birokrasi berafiliasi kepada partai-partai politik.

Ketiga, tahun 1960-1965, partai-partai politik dari aliran-aliran politik Nasakom bersaing untuk menguasai birokrasi pemerintahan.

Keempat, masa Orde Baru hingga tahun 1998, birokrasi pemerintah menjadi kendaraan politik Golkar. Kemenangan Golkar dalam enam kali pemilu terutama berkat peranan birokrasi. Pada masa Orde Lama, ketiga aliran politik masing-masing mempunyai 'kapling' pada birokrasi. Sedangkan masa Orde Baru, birokrasi dikuasai Golkar.

Kelima, era reformasi, politisasi birokrasi pemerintahan di Indonesia saat ini cenderung menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan berada ditangan sejumlah kecil orang pada puncak partai-partai politik yang berkuasa. Presiden Megawati pun mengatakan, sulit 'memegang leher' pejabat eselon I dan eselon II. Namun, ada indikasi bahwa partai-partai politik yang berkuasa cukup aktif untuk merebut dan meraup sumber-sumber dana dari birokrasi kita. Money politics telah membuat semakin melemahnya birokrasi ala Weber.

KESIMPULAN

Birokrasi adalah institusi pelayanan public yang tidak pernah mengenal pilih kasih dalam melaksanakan kewajibannya. Sebagai organisasi yang rasional dan mengedepankan efisiensi administrative, birokrasi perlu dipelihara dan dipertahankan eksistensinya, terutama dalam mewujudkan demokrasi. Meskipun birokrasi dan demokrasi adalah dua konsep yang saling bertentangan, keduanya masih bisa disatukan kedalam sebuah tatanan masyarakat yang dekat dengan simbol-simbol pelayanan publik.

Birokrasi yang netral yang tidak memihak pada kepentingan politis partai politik, merupakan idamana masyarakat dalam sebuah Negara yang mengakuu modern, atau tengah menuju modern. Ketika birokrasi sedikit saja bersentuhan dengan politik atau  struktur birokrasi dimasuki orang-orang partai politik, maka saat itu juga tujuan birokrasi akan mulai melenceng dari arah semula sebagai institusi resmi yang melayani urusan orang banyak. Birokrasi yang telah ditumpangan oleh kepentingan partai politik, lambat-laun cenderung akan dimanfaatkan pula oleh punguasa Negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Pada saat itulah, birokrasi tellah berubah wujud menjadi pelayan penguasa Negara yang tentu saja meninggalkan kepentingan masyarakat banyak.

            Sekali lagi, politisasi birokrasi bukanlah jawaban tepat dalam mempperbaiki kinerja birokrasi keseharian kita. Birokrasi yang ditumpangi oleh kekuatan partai politik tidak menjadikan ia semakin politis dan bisa jjadi di jauhi masyarakat, tapi juga renta terhadap pengabaian aspek kualitas dari persinil-personilnya. Dalam politik yang berlaku adalah bagai mana kekuasaan itu bisa diperoleh dan dipertahankan, sementara dalam birokrasi yang berlaku adalah bagaimana dalam kondisi apa pun, masyarakat bisa terlayani kebutuhan dan kepentingannnya. Oleh sebab itu, birokrasi yang diimasuki oleh elit-elit partaii politik akan menjadikan institusi ini semakin terombang ambing dalam pertungan kekuasaan yang tanpa henti. Apalagi dalam kondisi budaya birokrasi yang belum sepenuhnya menjalankan fungsi-fungssi profesionalisme, kapabilitas, maupun kompetensi, maka kinerja birokrasi partisan cenderung korup dan akan tetap dipandang sebagai perpanjangan tanga partai atau konstituennya. Jadi, tidak ada sedikitpun manfaat positif dari kebijakan politisasi birokrasi. Ia justru bertenetangan dengan semangat demokrasi.

Daftar Pustaka

Budi, Santoso, Priyo. 1995. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru : Perspektif Kultural dan                 
Struktural. Jakarta : CV Rajawali.
Tjokrowowinoto, Moeljarto. Tt. Teori Pembangunan; Bahan Kuliah Program Pascasarjana FISIPOL-UGM Yoggyakarta
Hariandja, Denny B.C. 1999. Birokrasi Dan Pongah Yogyakarta; Kanisius
Tjokrowowinoto, Moeljarto. 2001 Birokrasi Dalam Polemik Yogyakarta; Pustaka Pelajar
Didin, Damanhuri, S. Menuju Reformasi Indonesia. Repoblika. Selasa 13 Mei 2003
Moeljarto T.1993. Politik Pembangunan; Sebuah Analisis Konsepsi Arah danAtrategi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Effendi, Sofian, dkk., ed 1990. Membangun Martabat Manusia, Peran Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Pembangunan Yogyakarta: UGM Press

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar