Jumat, Oktober 01, 2010

Hubungan Islam dengan Politik

Islam –secara teologis- adalah suatu sistem nilai. Ajaran bersumber pada wahyu yang bersifat Ilahiyah dan arena itu sekaligus besrsipat transenden. Akan tetapi, Islam sebagai pedoman dan petunjuk yang mengatur kehidupan umat manusia –secara sosiologis- merupakan fenomena peradaban, cultural, dan realitas sosial dalam kehidupan manusia.[1] Dalam realitas kehidupan masyarakat, Islam tidak sekedar sebagai suatu kumpulan sistem dan nilai ajaran yang bersifat universal, tetapi menampakkan diri dan mengejawantah dalam pola hidup dan kehidupan institusi-institusi sosial dengan mendapat pengaruh dari dinamika kehidupan lingkungannya.[2]
            Sejarah umat manusia telah mencatat keterlibatan agama secara meluas dan mendalam dalam ke dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat, termasuk kehidupan politik dan pemerintahan. Barangkali dapat dinyatakan bahwa umat Islam memulai hidup bernegara (berpemerintahan), setelah Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, berhasil membentuk masyarakat yang terdiri dari berbagai komunitas Islam yang berbeda dan komunitas-komunitas Yahudi serta suku-suku Arab yang belum menerima Islam, dalam satu kehidupan masyarakat Madinah.[3] Pada masa Nabi, kepemimpinan politik menyatu dengan misi kenabiannya. Nabi Muhammad bukan hanya sebagai Rasul, tetapi juga sebagai kepala Negara.[4] Hal ini dapat menunjukan dan mengisaratkan ada relevansi kehidupan beragama dengan kehidupan bernegara (politik). Sebab Islam sebagai petunjuk kehidupan mengandung dan meliputi aspek religius, aspek kultural, dan aspek politik, dan dalam realitas kehidupan ketiganya saling ada keterkaitan, dan saling mencakup.
            Hubungan antara agama dan politik secara umum dapat dilihat dan diamati dari kedudukan agama dan perannya dalam kehidupan masyarakat. Menurut Watt, agama mempunyai kedudukan sentral dalam kehidupan seseorang, karena agama memberikan tujuan umum kehidupan dan membantu memusatkan energinya dalam usaha menempuh tujuan-tujuan tersebut. Jika agama bagi seseorang diyakini tidak sekedar anutan dalam nama saja. Maka: pertama,pemikiran keagamaanya akan membentuk kerangka intelektual dalam segala kegiatannya; dan kedua, karena agama membawa kesadaran akan keadaan yang lebih luas, diaman tujuan kehidupan seseorang telah diletakkan dan ditentukan, maka agama seringkali menggerakan motif-motif kegiatannya. Jadi, tanpa motif-motif yang diberikan oleh agama itu, kegitan-kegitan tersebut tidak akan dapat dilaksanakan.[5] Islam sejak awal mulanya telah memilki relevansi dengan organisasi politik dan social di masyarakat, karena Islam yang disebutkan di dalam Alqur’an dan Sunnah, yang dikenal umat salaf maupun khalaf adalah Islam yang saling melengkapi dan utuh, yaitu Islam yang bermuatan rokhani, ahlak, pemikiran, pendidikan, jihad, sosial, ekonomi, dan politik, sehingga politik dalam Islam berhubungan erat dengan agama.[6] Munawir mengungkapkan bahwa dikalangan pemikiran Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan Islam dan ketatanegaraan.[7]
            Aliran pertama, berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pemikiran Barat, yakni hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan  yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini pada umunya berpendirian bahwa: 1) Islam adalah agama yang serba lengkap. Didalamnya terdapat pula antara lain system kenegaraan atau politik, oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada system ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan justru meniru system ketatanegaraan Barat. 2) Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah system yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan oleh empat al-Khulafa al-Rsyidun.
            Aliran kedua, berpenderian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu Negara.
            Aliran krtiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat system kenegaraan. Aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Maha Penciptanya. Aliran ini beperpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat system ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagai kehidupan bernegara.
            Dalam konteks kehidupan politik, aliran yang pertama mendorong sejumlah pemeluknya memepercayai bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan semua maslah kehidupan, sehingga dalam dunia kontemporer ini kita menyaksikan sebagian kaum muslimin yang ingin mendasarkan seluruh kehidupan social, ekonomi, dan politiknya pada ajaean Islam secara ekslusif. Sebagai ekspresi pandangan itu dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik seperti: revivalisme Islam, revolusi Islam, dan fundamentalisme Islam. Pandangan holistic seperti tersebut di atas dapat menimbulkan implikasi antara lain kecenderungan memahami Islam dalam pengertian yang literal, dengan menekannkan aspek luarnya saja sehingga dapat mengabaikan dimensi konstektualnya. Dalam praktek kehidupan politik menimbulkan gerakan yang bertujuan menjadikan Islam harus menjadi dasar Negara, Hukum Islam harus menajadi konstitusi Negara, partai politik haruslah partai Islam. Dengan pandangan semacam ini, maka pada Negara-negara nasional modern yang mayoriats penduduknya muslim yang tidak meetakkan dasar Negara dan poltiknya pada Islam ditempatkan dalam posisi yang berlawanan dengan Islam.
            Aliran kedua, menimbulkan pandangan sekularisme, sebagai sikap yang tidak perduli kepada agama, yang beranggapan bahwa tidak ada hubungan antara urusan agama dengan urusan kenegaraaan. Kalangan muslim yang mengikuti pandangan ini berpendapata bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori Negara atau system politik yang harus dijalankan oleh ummah. Proses modernisasikehidupan masyarakat dengan cara penerimaan secara bertahap pandangan sekuler yang membatasi agama dalam kehidupan pribadi saja sambil mempergunakan model pembangunan dalam konsep Barat, termasuk keonsep politik dan konsef pemerintahan. Basis Islam tradisional dan legetimasi masyarakat muslim perlahan-lahan berubah dengan makin disekulerkannya ideologi, hokum dan lembaga-lemabag Negara menurut model-model dari Barat. Akibat utama dari pandangan ini timbulnya perpecahan umat Islam, sebab Islam dan sekularisme meruapakan dua hal yang antagonistic, yang tidak dapat dikompromikan yang tampak dalam sisitem pendidikan dan hokum. Apabila dalam proses sekularisasi dasar-dasar tradisional kekuasaan dan wewenang para pemimpin agama terkikis.
            Aliran ketiga, berusaha menjembatani pertentangan kedua aliran tersebut di atas. Alirin ini mengakui bahwa di dalam Alqur’an terdapat berbagai ungkapan yang mengadung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis, mengenai aktifitas social dan politik umt manusia. Misalnya prinsip-prinsip keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kebebasan serta prinsip musyawarah. Dengan demikian sepanjang Negara berpegang pada prinsip-prinsip seperti  itu, maka mekanisme yang diterpkannya adalah sesuai dengan ajran Islam. Berdasarkan aluran pemikiran seperti ini, maka pembentukan suatu Negara Islam dalam pengertiaannya yang formal dan idiologis tidaklah menjadi begitu penting. Dengan mengikuti alur pemikiran seperti ini, maka tidak beralasan (secara teologis) untuk menolak gagasan politik bagi penerapan prinsisp-prinsip umum teori politik negara-negara modern. Sebab penekannanya pada subtasi nilai islami, bukan pada bentuk Negara yang legal dan formal,sehingga dengan pendekatan ini dapat digunakan untuk menghubungkan antara Islam dan system politik modern,dimana negara bengsa merupkan salah satu unsur utama.
            Menurut John LS Girling pergeseran gerak politik NU pasca Khittah dapat pula dijelaskan dengan” kerangka perubahan system” yang diperkenalkan oleh……jhon dengan menggunakan empat variable ( mekanisme) “perubahan peranan didalam suatu system politik”. Dari uraian terdahulu ditemekukan berbagai indicator yang dapat membuktikan kebenaran asumsi adaanya pergeseran gerak politik NU selama lima belas tahun terakhir sebagai berikut.
            Pertama, pergantian generasi (generesionel change) dalam kepengurursan PBNU (baik syuriah maupun tanfiziyah), membawa perubahan wawasan pemikiran NU dalam meresfon perjalanan kehidupan organisasi yang telah di lakukan selama ini, dan meresfon tatangan masa depan kehiidupan modern bangsanya dengan melakukan orientasi pemikiran, wawasan, sikap, dan langkah-langkah gerakan perjuangannya, yang melahirkan gerakan politik cultural berdasarkan konsep kemabali ke Khittah 1926.
            Kedua, persaingan antar klik (clique rivalry) yang berlangsung selama bergabung PPP, pada satu sisi membawa pergeseran politik praktisnya, yaitu secara orgisatoris NU menjadi “a-politik”, tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun, dan pada sisi lain memberikan hak kebebasan berpolitik kepada warganya melalui organisasi politk yang ada, sehingga apabila sebelum Khittah secara organisatoris NU dapat diintevikasikan secara kuat sebagai bagian dari PPP, maka pasca khittah anggapan tersebut bergeser, NU seccara secarorganisatoris tidak kemana-mana, tetapi warga NU ada dimana-mana (ada idorganisasi politik manapun). Sikap yang dipandang sebagai ambipalen ini membawa dampak semakin jelas dan kuatnya pola risasi politik warga NU dan faksionalisasi internal dikalangan ulama, politisi, dan aktifis NU yang menimbulkan persaingan antara faksi. Keadaan ini kemudia membawa dampak pergeseran tersendiri pada perjalanan perpolitikan NU dan warga NU pada era reformasi.
            Ketigas, adanya tekanan-tekanan internal (internal pressure) berupa keinginana yang kuat dari generasi pembaharu ( cedikia) NU, dibawah pengaurh kuat dari Abdurahman Whid (yang akhirnya mendapt dukungan dari para ulama) berusaha melakukan pembaharuan dean pada pihak lain terdapat kelompok konserpatif dan politisi yang bersebangan, memberikan tekanan-tekanan tersediri dalam implemntasi khittah, sehinggaperjalanan NU sering sulit diramlkan karena belajar dipersimpangan jalan. Dengan mempertimbagkan untung rugi, maslahat dan mafsadatnya bagi kepentingsn organisasi dan umatnya, maka adanya perubahan sikap politikdipandang sebagai jalan keluar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai kenestapaan yang diterima selama ini. Sebaliknya, tatkala tekanan internal dari warga NU untuk memeiliki partai politik sendiri pada era reformasi menyebabkan PBNU berusaha mebidangi pendirian Partai Kebangkitan Bangsa PKB. Selanjutnya, daya tarik menarik antara faksi-faksi dikalangan NU setelah khittah untuk memenuhi tuntutan kepentingan dan aspirasi politik mereka masing-masing, menimbulkan benturan gerakan timbale balik dari kutub structural ke kutub cultural dan sebaliknya. Oleh karena itu NU melakukan refosisi kembali dengan menampilkan dua wajah dalam gerakan politiknya secara komplementer seperti yang terjadi sekarang ini.
            Keempat, format politik dengan system kepartaian hegemonic yang dilakukan selama pemerintahann orde baru telah melahirkan tindakan-tindakan pemerintah yang semakin otoriter-rfresip, langkah-langkah defarpolisasi dan deidiologisasi, semuanya merupakan factor yang memberikan tekanan-tekanan eksternal (eksternal fresure) pada kehidupan partai dan oorganisasi-organisasi kemasyarakatan yang mempunyai masa yang besar seperti NUpergeseran sikap NU menjadi “a-politik”pasca khittah tidak terlepas dari format politik orde baru, demikian pula sebaliknya tatkala kebebsan dari pemerintah pada era reformasi. NU kembali memaikan pranpolitiknya pada PKB


[1] Azyumadi Azra, pergolakan Politik Islam, dalam Rozikin Daman, Membidik NU, Yogyakarta, Gama Media, 2001, hlm. 1.
[2] Ibid
[3] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, dalam Ibid., hlm. 3.
[4] Harun Nasution dalam Ibid.,
[5] Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam (trj). Hamid Fahmi Zarkasyi dan Taufiq Ibnu Syam), Jakarata, dalam Ibid.,
[6] Ibid.,hlm 4.
[7] Munawir Syadzali, op. cit., hlm. 1-2.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar