Jumat, Oktober 01, 2010

Keadilan Sosial dan Kebudayaan Politik

Kadilan Sosial dan Kebudayaan Politik
Adalah benar keabsahan ilmu sosial di tentukan oleh ketepatan metodologi dan kejernihan dasar teoritis, tetapi perkembangannya sangatlah di tentukan oleh ketepatan pertanyaan yang di ajukan. pertanyaan tersebut bertolak dari keprihatinan sosial, bukan semata-mata di rumuskan oleh keingintahuan belaka. Dengan kata lain perkembangan ilmus social tidaklah hanya di tentukan oleh peningkatan keterampilan oleh para pendukungnya bersedia memainkan peranannya sebagai intelektual–yaitu yang selalu mempertanyakan realitas dan yang mengaitkannya dengan nilai yang dihayati.
Begitulah perkembangan ilmu social dan terutama pempribumian konsep-konsep ilmu social sangat tergantung pada reaksi intelektual terhadap kemungkinan adanya ketimpangan antara apa realitas yang sesungguhnya dan apa yang sebenarnya diinginkan. Ketika rasa kewajaran terganggu maka langkah pertama ke arah perkembangan ilmu telah diletakkan. Memang dapat diperdebatkan apa yang dimaksud dengan yang wajar itu? Seorang pendukung kolonialisme akan melihat ketidak wajaran jika koloni yang ingin dikuasai bangsanya tidaklah menerima kehadiran kekuasaan yang dipaksakan. Tetapi dalam perkembangan ilmu selanjutnya validitas dari rasa kewajaran makin ditentukan oleh cita kemanusiaan.
Demikian kencderunagan yang makin umum ini juga mewarnai perkembangan ilmu-ilmu social di Indonesia. Adalah benar bahwa perkembangan itu masih diangkat awal tetapi kesadaran tentang apa artinya keprihatinan intelektual dan apa dasarnya dan apa dasarnya dari rasa kewajaran yang makin universal itu setahap demi setahap telah mulai mewarnai kehidupan akademis.
Sejak mula HIPIS (Himpunan Indonesia untuk Pembangunan ilmu-ilmu social) didirikan suasana ini semakin lama semakin di rasakan. Mungkin perngertian umum yang universal itu agak disempitkan kepada hal yang langsung, yaitu tanah air dan masyarakat sendiri, namun kerprihatinan intelektual selalu di pupuk. Begitulah pada kongres II yang diadakan di manado pada tanggal 14-20 November 1977, HIPIS mengambil tema pokok yang menyangkut permasalahan keadilan social dan kemungkinan peranan yang dapat dijalankan oleh ilmus social dalam usaha mewujudkannya. Salah satu acara dalam kongres tersebut ialah diskusi panel mengenai “keadilan social dan kebudayaan politik”. Keadilan social bukan saja adalah merupakan salah satusila dari Pancasila dan merupakan salah satu dasar ideal dari konstitusi (UUD 1945) tetapi, dengan kata yang berbeda-beda, adalah pula gambaran dari masyarakat-masyarakat tradisional kita. Yang satu lebih menekankan kepada manipestasi kekuasaan yang adil, yang lain mungkin mengaitkan kemakmuran dengan kewajaran kekuasaan, sedangkan yang lain lagi mungkin pula membayangkan dunia yang bahagia itu adalah sesungguhnya pantulan dari kekuasaan yang sah dan adil.

Namun dalam perbedaan penekanan ini dan dalam kemungkinan dalam perbedaan dasar idiologis yang diberikan ada yang lebih diwarnai kedudulan religi, ada yang lebih kepada keharusan pada kemantapan kosmos, dan sebagainya-tampaklah betapa cita keadilan social adalah sesungguhnya benang merah dari seluruh sejarah perkembangan cita di tanah air kita. Ia selalu ada walaupun mungkin ada pada perkembangannya memakai idiom-idiom dan bentukan-bentukan yang berbeda dan berubah-ubah. Sekarang timbul masalah, dapatkah cita keadilan social ini didukung oleh system politik yang berlaku? Dari sudut konstitusi dan sudut consensus politik hal ini adalah suatu pertanyaan yang jawabannya telah tersedia. Keadilan social adalah merupakan salah satu tujuan dari kehidupan bernegara. Tetapi inilah masalahnya, konstitusi dan system politik tidak selalu merupakan factor yang sangat dominan dalam menentukan tingkah laku politik.
Factor tradisi politik, desakan seketika, tantangan dari luar, dan segala macam kepentingan peneguhan kekuasaan juga memegang peranan. Dalam konteks Indonesia timbul pertanyaan, jika benar bahwa keadilan social adalah benang merah dalam perkembangan sejarahdari semua masyarakat-masyarakat di Indonesia, maka apakah kebudayaan-kebudyaan politik di Indonesia menunjukan persamaannya pula. Jawapan yang paling mudah yang bias diberikan ialah bahwa bagaimanapun juga masyarakat yang mengenal system kerajaan yang bersifat patrimonial tidaklah mungkin mempunyai kebudayaan politik yang sama dengan masyarakat yang hanya menyadarkan diri kepada unit-unit politik yang kecil dan tidak bersifat supra desa. Kedua bentuk ekstrim ini terdapat dalam khazanah tradisi-tradisi kekuasaan di tanah air kita.
Menyadari pluralitas dari kebudayaan-kebudayaan politik tradisional itu, yang sekarang dirangkul dan dibina oleh suatu kebudayaan politik Indonesia yang modern, dan kesatuan cita mengenai keadilan social, maka malah hubungan antara kebudayaan politik dan keadilan social adalah suatu hal yang mestinya di bahas secara mendalam.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar