Selasa, Maret 01, 2011

Demokrasi Indonesia Pengalaman Negara Sebagai Muslim Terbesar


DEMOKRASI INDONESIA:
Pengalaman Negara Sebagai Negeri Muslim Terbesar

Fauzan Ali Rasyid*

Pendahuluan

Proses demokrastisasi di Indonesia tidak akan lepas dari peran dan partisipasi muslim Indonesia sebagai penduduk terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, gerakan politik Islam dan perilaku politik muslim di Indonesia senantiasa menarik untuk dianalisis baik oleh ilmuwan politik dalam negeri maupun Asing. Intelektual politik Indonesia antara lain Nazaruddin Sjamsuddin, Syafi’i Maarif, Deliar Noor. Selain itu dari peneliti politik Asing antara lain yang dilakukan Herbert Feith, Geertz, J. Benda, Karl Jacson, William liddle, dan Hiroko Horikosi. Ketertarikan ilmuwan politik tersebut senantiasa berawal dari beberapa asumsi antara lain: pertama, Islam politik Indonesia berbeda pola gerakannya dengan Islam di berbagai Negara Islam. Islam politik Indonesia lebih menerima demokrasi tetapi kental dengan budaya lokal. Kedua, Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat, sehingga memiliki power politik yang cukup besar. Dan Ketiga, Islam politik memiliki serentetan sejarah perjuangan dan perlawanan.1

Secara makro eksistensi Islam politik dalam pembangunan politik bangsa tidak dapat dikesampingkan sebagaimana dikatakan peneliti senior LIPI, Taufik Abdullah bahwa peranan Islam dalam sejarah masyarakat-masyarakat di Indonesia sejak abad ke-15-terutama sejak abad ke-17 dan seterusnya –sangat besar. Islam merupakan kekuatan historis yang cukup besar dalam dinamika sejarah.2 Peneliti dan sejarawan lain Onghokhan menambahkan, “Sejak penyebaran agama Islam  di Indonesia, agama memainkan peranan penting. Bahkan pada abad ke-20, Islam tetap tampil sebagai ideologi walaupun sudah bercampur dengan ideologi-ideologi lain seperti nasionalisme sekuler, komunisme dan sosialisme.

Apabila dianalisis awal masuk Islam dan Islam yang berkembang di masyarakat Indonesia lebih bernuansakan Islam Fiqih atau Tasawuf.3 Masyarakat lebih banyak membicarakan dan mempertentangkan masalah Fiqih ketimbang politik. Sehingga organisasi-organisasi Islam pada awalnya lebih mengedepankan pemurnian agama atau puritanisme. Seperti yang dilakukan Muhammadiyah, Persis, NU dan kelompok tarekat atau tasawuf.  Puritanisme inilah yang menjadi khas satu organisasi Islam. Aliran Tasawuf kebanyakan dibawa oleh para wali terutama wali songo sekitar abad 15-an dan Fiqih banyak dibawa oleh kaum pembaharu yang lebih mengemuka sekitar  awal abad 20-an. 

Oleh karena itu, Umat Islam Indonesia lebih mudah menerima Demokrasi, karena demokrasi tidak berkaitan dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan Fiqih dan tasawuf. Fenomena tersebut berbeda dengan kondisi Negara-negara Islam terutama di Timur Tengah. Negara-negara tersebut agak sulit menerima Demokrasi, mungkin disebabkan beberapa faktor antara lain: pertama, Demokrasi adalah faham Barat, dimana negara-negara Barat dianggap sebagai biang keladi kehancuran Khilafah Islamiyah di Turki sekitar tahun 1923, sehingga sampai sekarang masih banyak gerakan politik Islam yang ingin mengembalikan Khilafah Islamiyah seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Kedua, ada gesekan peradaban dimana negara-negara Islam semasa berdiri Khilafah Islamiyah pernah berjaya, sehingga ilmuwan politik Amerika yakni Samuel Huntington mengeluarkan tesis perlu adanya dialog peradaban dan yang dimaksud adalah peradaban Timur dan Barat (Islam vs Barat).4 Ketiga, belum selesainya masalah Palestina dan Israel. Gerakan Palestina melahirkan solidaritas negara-negara Islam Timur Tengah, sedangkan Israel melahirkan solidaritas negara-negara Barat.

Perbedaan yang sekaligus menjadi keunikan Islam Indonesia inilah yang senantiasa merangsang untuk diteliti dan dianalisis oleh para ilmuwan politik. Bahkan dengan munculnya gagasan Demokrasi bagi umat Islam Indonesia terjadi konsolidasi umat dengan terbentuknya Masyumi di awal kemenerdekaan RI yang pernah berjaya dan berkuasa dengan tokoh militannya Mohammad Natsir yang pada tahun 2008 dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden SBY. Masyumi sampai sekarang menjadi impian bagi setiap Partai politik Islam. Bahkan pasca jatuhnya rejim Orde Baru tidak sedikit Partai Islam mengatasnamakan penjelmaan Masyumi.
____________________________
*Dosen Ilmu Politik UIN SGD Bandung
1Pembahasan tentang Gerakan politik Islam di Indonesia lihat Alfian, The Political Behavioral of a Muslim Modernist Organization under Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1989. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982). Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980. J. Boland,  Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafiti, 1985. Cliffort Geertz,  Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa Cet. III, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989. Hiroko Horikoshi, Kiyai dan Perubahan Sosial, alih bahasa Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa, Jakarta: P3M, 1987. Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan, Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Grafiti, 1990. dsb
2Taufiq Abdullah, Islam di Indonesia (Jakarta: Tinta Mas, 1974) hlm 56
3Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995). Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995). Dan Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999).
4Samuel P. Huntington, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, diterjemahkan oleh M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Qalam, 1996) terutama bab 2 dan bab 7.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar