Selasa, Maret 01, 2011

Gerakan Islam Politik Menolak Otoritarianisme dan Totaliarisme

Gerakan Islam Politik Menolak Otoritarianisme dan Totaliarisme

Setidaknya terdapat minimal 3 bukti sejarah perjalanan demokrasi Indonesia yang menunjukkan bahwa kelompok Islam politik atau gerakan politik Islam senantiasa mendorong proses demokratisasi dan menolak otoritarianisme dan totaliarisme. Ketiga bukti sejarah tersebut antara lain; pertama, pada masa awal kemerdekaan. Kedua, berakhirnya rezim Soekarno dan awal Orde Baru. Dan ketiga, pada masa akhir rezim Soeharto dan awal reformasi. 
Pada masa  awal kemerdekaan Indonesia, sebenarnya Presiden Soekarno menghendaki hanya akan dibentuk satu partai politik yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), sehingga ia enggan mengeluarkan aturan yang berkaitan dengan berdirinya partai-partai politik, bahkan ia mengecam bahkan kekacauan politik terjadi karena ulah dari partai-partai politik. Berdirinya partai-partai politik di awal kemerdekaan berdasarkan maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta atas nama pemerintah dengan berdasarkan desakan-desakan dari tokoh-tokoh masyumi. Sehingga keluar Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Dalam Maklumat tersebut tertulis bahwa “Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.” 
Sedangkan Presiden Soekarno yang menghendaki berdirinya partai tunggal yakni PNI dengan mengusahakan melelui sidang terakhir PPKI,  tanggal 22 Agustus 1945, yang menetapkan antara lain: pertama, akan dibentuk suatu partai politik sebagai alat perjuangan yakni Partai Nasional Indonesia. Kedua, membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Ketiga, berdirinya Badan Keamanan Negara (BKR).
Penolakan akan munculnya monopartai dan mendorong multi partai menunjukkan bahwa sistem monopartai hanya dianut dalam negara-negara fasis dan komunis yang lebih bersistemkan negara otoriter atau totaliter, sedangkan sistem multi partai merupakan indikasi negara-negara demokrasi. Dengan adanya maklumat tersebut Indonesia terhindar dari model otoritarianisme dan menuju negara demokratis. Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan mengadakan pemilu pertama yang baru terlaksana pada tahun 1955. Pemilu pertama tersebut terlaksana di bawah Perdana Menteri Burhanudin Harahap dari Masyumi, sedangkan sebelumnya pemilu senantiasa gagal untuk dilaksanakan. Burhanudin sebagai tokoh partai Islam (Masyumi) menunjukkan konsistennya untuk membangun demokrasi yakni dengan bersiteguh melaksanakan pemilu.5
Pembuktian kedua pada masa demokrasi terpimpin, yakni pasca pembubaran konstituante melalui Dekrit Presiden pada tahun 1959, sehingga Indonesia memasuki era Dempokrasi Terpimpin, dimana semua kendali negara dalam pangkuan Presiden Soekarno, bahkan berdirinya MPRS/DPRS dan keanggotaannya ditentukan oleh Presiden Soekarno. Padahal kedudukan MPRS dan DPRS sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sejajar dengan Presiden sebagai lembaga tinggi negara, bahkan MPR merupakan lembaga tertinggi negara dalam UUD 1945. Dengan Demokrasi terpimpin, Presiden dengan mudah membubarkan Partai Masyumi dan PSI tanpa proses hukum pada tahun 1960.6
Pada masa tersebut terjadi keharmonisan antara presiden dengan PKI. Di samping itu, terjadi pula persaingan antara PKI dengan TNI AD. Berdasar realitas tersebut kelompok-kelompok Islam terutama eks-Masyumi dan eks-PSI bekerjasama dengan TNI AD terutama dengan Panglima Konstrad yang dipimpin Soeharto dan RPKAD yang dipimpin Sarwo Edi, Kerjasama tersebut ditujukan untuk menolak sistem demokrasi terpimpin yang kenyataannya bersifat otoritarianisme di bawah tambuk Presiden Soekarno. Di samping itu, untuk melakukan perlawanan terhadap gerakan politik PKI yang semakin menguasai seluruh lapisan. Kerjasama tersebut berhasil dengan memanfaatkan momentum Gestapu yang dilancarkan PKI sehingga jatuhlah rezim Soekarno dan PKI dibubarkan. Dengan momen tersebut berakhirlah otoritarianisme Soekarno yang dibungkus dengan model Demokrasi terpimpin. Kemudian Indonesia memasuki kembali sistem multipartai yang dilanjutkan dengan mengadakan pemilu kedua, yang baru terlaksana pada tahun 1971.7
Ketiga, adalah pembuktian bahwa gerakan Islam mendorong demokrasi terutama pada masa kepemimpinan Soeharto yang bersifat otoriter dan totaliter, dimana pada tahun 1998 terjadi jatuhnya rezim Presdien Soeharto. Pada masa rezim Soeharto dilarang membentuk partai politik kecuali yang tertera dalam UU Pemilu yakni PPP dan PDI dan satu Golongan Karya (Golkar). Golkar tidak disebut sebagai partai politik tetapi senantiasa menjadi peserta pemilu. Pada masa kejatuhan rezim Soeharto, tokoh-tokoh Islam seperti Amin Rais (Ketua PP Muhammadiyah) dan Abdurrahman Wahid (Ketua PB NU) berperan besar untuk mengubah rezim otoriter menuju sistem yang demokratis, sehingga pasca jatuhnya rezim Soeharto tersebut dilakukan kembali pemilu dengan sistem multi partai pada tahun 1999 dengan terlebih dahulu merubah UU Pemilu, sehingga terjadi kebebasan untuk mendirikan partai politik peserta pemilu.8
Berdasar ketiga bukti sejarah tersebut membuktikan bahwa kelompok Islam atau gerakan politik Islam senantiasa menolak terciptanya sistem otoriter atau totaliter dan menghendaki terwujudnya demokratisasi di Indonesia. Walaupun  demokrasi yang dibangun senantiasa juga tidak menjadikan partai-partai Islam diminati atau dikagumi oleh masyarakat bahkan partai Islam sampai sekarang semakin surut peminat dan tersisih dengan partai-partai nasionalis. Dengan demikian yang dibangun oleh Islam politik bukan tertuju pada kekuasaan mayoritas muslim tetapi lebih tertuju kepada terbentuknya sistem yang lebih demokratis.


------------------------------------------

5Lihat Miriam Budiardjo, Demokrasi Di Indonesia Demokrasi Parlementer Dan Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996 dan Nazaruddin Sjamsuddin, Dinamika Sistem Politik Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993).
6Lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, second edition, (Ithaca, New York: Cornell Univercity Press, 1971) dan lihat juga Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959, (Ithaca: modern Indonesian Project, 1966). Serta baca Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 1995).
7Lihat Harold Crouch,  Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999) hlm 276-307. Donald K. Emerson,  Indonesia Beyond Soeharto, Jakarta: Gramedia, 2001
8Lihat Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Pemilihan Umum 1999: Demokrasi atau Rebutan Kursi, (Jakarta: LSPP, 1999).

Artikel Terkait:

1 komentar:

  1. Hanya sekedar berbagi, semoga bermanfaat. ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa di pelajari oleh semua orang. semoga anda mengerti itu.

    BalasHapus