Selasa, Maret 01, 2011

Kegagalan Partai Politik dalam Rekruitmen Politik

Kegagalan Partai Politik dalam Rekruitmen Politik

Partai Politik merupakan kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang telah tersusun dalam partai. Alternatif kebijakan umum yang disusun ini merupakan hasil pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat, sedangkan cara mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan kebijakan umum dapat melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah.

Keberadaan partai politik di tengah masyarakat akan mendapat dukungan apabila partai politik tersebut menjalankan fungsi-fungsi partai politik. Partai politik memiliki fungsi dalam sistem politik antara lain: 1) sosialisasi politik, 2) Rekruitmen politik, 3) Partisipasi politik, 4) Pemadu kepentingan, 5) Komunikasi politik, 6) Pengendalian konflik, dan 7) Kontrol politik.12 Fungsi-fungsi partai politik tersebut sering tidak diindahkan oleh partai politik sehingga citra partai politik di tengah masyarakat menjadi hanya sekedar alat bagi orang-orang yang haus akan kekuasaan. Walaupun itu tidak salah tetapi hendaknya partai politik dapat membangun kedewasan politik rakyat sehingga arah dan kebijakan politik dapat dipahami rakyat. Cukup disayangkan ketika hasil beberapa survey menunjukkan rendahnya kepercayaan rakyat terhadap partai politik seperti survey yang dilakukan LSI, Kompas, Media Indonesia dll. 

Faktor yang cukup signifikan untuk meningkatkan kepercayaan pada partai politik adalah rekruitmen politik. Rekruitmen dianggap penting karena partai politik adalah infrastruktur politik yang memproduk elit-elit politik. Partai politik dapat dikatakan sebagai institusi yang secara  formal melakukan proses sosial politik lahirnya elit politik. Emile Durkheim13 menjelaskan bahwa sebab-sebab suatu gejala sosial yang dapat menjadi proses lahirnya sebuah elit atau pemimpin terdiri atas 2 macam: (1) sebab-sebab ateseden, dalam hal ini elit harus dipelajari sebagai perluasan dari kasta penguasa, aristokrasi, dan kelas-kelas penguasa yang menurut sejarah mandahului mereka, (2) sebab yang mengiringinya kekuatan-kekuatan yang terus beroperasi dan mejalankan pengaruhnya. Dalam hal ini, elit harus dipelajari dalam hubungan dengan kekuatan-kekuatan sosial yang mendorong perkembangan sosial. Indikator kedua dari durkheim tersebut menunjukkan pentingnya penguatan rekrutiemen politik oleh partai politik.

Dalam melakukan rekruitmen politik, partai politik juga perlu dilakukan secara elegan dan transfaran. Sebab di samping perkembangan politik yang semakin maju juga kekuatan-kekuatan politik masyarakat telah berkembang pesat sehingga  partai politik dapat menampung seluruh elemen kekuatan-kekuatan strategis dimasyarakat. Suzanne Keller14 yang menjelaskan bahwa golongan elite berkembang disebabkan oleh empat proses sosial yang utama: (1) pertumbuhan penduduk, (2) pertumbuhan spesialisasi jabatan; (3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi; dan (4) perkembangan keragaman moral. Dengan berjalannya keempat proses itu, kaum elite pun menjadi semakin banyak, semakin beraneka ragam dan lebih bersifat otonom. 

Teori Keller di atas menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan sosial politik masyarakat telah menyebar sedemikian rupa sehingga menuntut elit partai untuk membuka sistem kepartaian secara terbuka sehingga elit-elit tersebut dapat berkiprah optimal dalam politik melalui partai politik. Tidak bisa lagi membentuk partai secara tertutup secara ideologis atau lapisan masyarakat seperti yang terjadi di era sebelumnya sehingga muncul istilah politik aliran. Pada masa Orde Lama, PNI sebagai partai priyayi, Masyumi sebagai partai santri dan PKI sebagai partai wong cilik. Begitu juga pada masa orba, Golkar sebagai partai priyayi, PPP sebagai partai santri dan PDI sebagai partai wong cilik.
Di negara-negara berkembang, seperti halnya Indonesia, di mana tradisi kepartaian belum berjalan kuat, rekruitmen politik seringkali terjadi hanya dalam satu atau beberapa kelompok tertentu dan biasanya berlangsung dengan pola-pola patronase. Pola ini merupakan bagian dari sistem penyuapan dan korupsi yang rumit yang merasuki banyak bidang kehidupan masyarakat. Namun dianggap sebagai pola yang paling mapan tetapi dapat melahirkan perekrutan politik yang tidak cocok baik secara politik maupun diukur dari kemampuannya. 

Dengan pola seperti inilah perkembangan partai-partai politik di Indonesia menjadi kurang berkembang dan tidak dapat menjadi pemadu berbagai kepentingan politik. Padahal perkembangan politik di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat  sejak jatuhnya rejim Orde Baru. Perubahan-perubahan politik belum diiringi dan disertai dengan perubahan kultur politik dalam partai politik sehingga hal itu membawa tersendatnya perubahan perilaku politik dan etika politik bangsa.

Pada Pemilu 2009 merupakan pemilu dengan sistem proporsonal terbuka dan berimbang. (UU NO.10 Tahun 2008). Dengan sistem pemilu seperti itu, Partai Politik yang memiliki peluang besar untuk tetap eksis adalah yang memiliki dua (2) sumber kekuatan politik. Pertama adalah kebesaran partai itu sendiri dan kedua, memiliki tokoh-tokoh populis. Apalagi dengan ada ketentuan ambang batas perolehan suara sebesar 2,5% secara nasional, dimana apabila salah satu partai politik tidak mencapai jumlah ambang batas maka perolehan suaranya tidak dihitung menjadi perolehan kursi. Yang dihitung perolehan suara menjadi kursi legislatif adalah partai yang memperoleh jumlah suara minimal diambang batas.

Perubahan UU Pemilu dan UU Partai Politik tersebut semakin menghayutkan partai untuk terjebak dalam politik populisme, sehingga melupakan kualitas rekruitmen elit-elit bangsa. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya UU produk DPR dibatalkan melalui Yudisial review di Mahkamah Konstitusi bahkan beribu-ribu Perda yang dibatalkan Mendagri karena bertentangan dengan UU. Hal tersebut membuktikan bahwa kualitas ligislasi anggota legislatif belum terlatih sempurna. Selain itu banyaknya anggota legislatif dan eksekutif kader partai yang banyak terlibat pidana korupsi baik di pusat maupun di daerah. Hal tersebut menjadi penting bahwa sistem rekruitmen dalam partai belum memiliki standar yang dapat memberikan kepercayaan rakyat akan wakil-wakilnya dan semakin memperparah ketidakpercayaan publik pada partai politik.15 Dengan demikian diharapkan ke depan partai politik dapat melakukan rekruitmen secara selektif, kualitatif dan demokratis.
___________________________

12Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992) hlm 176-182 dan lihat juga Roy C. Macridis dalam Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutahir Partai Politik, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1996) hlm 25-26
13Durkheim dalam Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern (Jakarta: UI Press, 1986),  hlm. 118-145
14Suzanna Keller, Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit-Penentu Dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995),  hlm. 5-30 dan lihat juga Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kekuasaan dan Wibawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1991),  hlm 9-29
15Gutavo Esteva & Madhu Suri Prakash, "Demokrasi Radikal: Otonomi Lokal, Bukan Globalisasi", Proyek-Proyek Demokrasi, (Yogyakarta: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Wacana No II, 1999) hlm 30

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar