Selasa, Oktober 19, 2010

Kekuasaan: Entitas dan Konfigurasi Makna

A. Kekuasaan: Entitas dan Konfigurasi Makna

Di dalam pengertian politik, secara implisit tercakup unsur kekuasaan, oleh karena pada politik hakekatnya merupakan seni untuk membina kekuasaan. Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat menentukan nasib berjuta-juta manu-sia. Baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk suatu tujuan yang telah ditentukan atau didasari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan selalu da di dalam setiap masyarakat baik yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks susunannya.[1] Akan tetapi walaupun selalu ada, kekuasaan tadi tidak dapat dibagi rata kepada semua warga masyarakat oleh karena justru pembagian yang tidak merata tidak timbul makna pokok darikekuasaan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.

Jika kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang ber-kuasa dengan yang dikuasai atau dengan lain perkataan, antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh itu dengan rela atau terpaksa. Apabila kekuasaan itu dijelmakan dalam diri seseorang, maka biasanya orang itu dinamakan pemimpin dan mereka yang mengikutinya dinamakan pengikutpengikutnya. Beda antara kekuasaan dan wewenang (authority) adalah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai duku-ngan atau pengakuan dari masyarakat. Adanya wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang nyata. Akan tetapi acapkali letak wewenang yang diakui dan letak kekuasaan yang nyata tidak berada di dalam satu tangan atau satu tempat.

Apabila kekuasaan dihubungkan dengan sistem hukum, maka paling sedikit ada 2 hal yang menonjol yaitu pertama-tama bahwa para pembentuk, penegak, maupun pelaksana hukum adalah para warga masyarakat yang mempunyai kedudukan-kedudukan yang mengandung unsur-unsur kekuasaan. Akan tetapi mereka tidak dapat mempergunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang, oleh karena pembatasan tertentu atas peran-perannya, yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh pembatasan-pembatasan praktis dari pengguna kekuasaan itu sendiri. Efektivitas hukum dityentukan oleh keabsahan hukum tadi, artinya, apakah hukum tadi dibentuk dan dilaksanakan oleh orang-orang atau badan yang benar-benar mempunyai wewe-nang, yakni kekuasaan yang diakui. Dalam arti inilah hukum mempunyai pengaruh untuk membatasi kekuasaan. Akan tetapi sistem hukum merupakan juga suatu alat bagi penguasa untuk mengadakan tata tertib dalam masyarakat atau untuk memper-tahankan atau menambah kekuasaannya.[2]

Hal yang kedua adalah bahwa sistem hukum antara lain menciptakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban beserta pelak-sanaannya. Di dalam hal ini ada hak-hak masyarakat yang tidak dapat dijalankan oleh akrena yang bersangkutan tidak mempu-nyai kekuasaan untuk melaksanakannya dan sebaliknya, ada hak-hak yang secara otomatis didukung oleh kekuasaan. Lagipula jika masyarakat mengakui adanya hak-hak tertentu maka hal itu pada umumnya berarti adanya kekuasaan untuk melaksanakan hak-hak tersebut melalui lembaga-lembaga hukum tertentu oleh karena hukum tanpa kekuasaan merupakan hukum yang mati.[3]

Menurut S. Mertokusumo, hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sah menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukan hukum.  Sebaliknya, hukum itu sendiri pada hake­katnya kekuasaan. Hukum mengatur, mengusahakan keter­tiban, dan membatasi ruang gerak individu. Tidak mungkin hukum menjalankan fungsi itu jika tidak merupakan kekuasaan. Intinya, hukum merupakan kekuasaan untuk mengusahakan ketertiban. Tesis ini tidak boleh diartikan bahwa karena hukum itu merupakan kekuasaan lantas dihalalkan munculnya hukum kekuasaan, yaitu hukum bagi mereka yang berkuasa.[4]

Menurut Weber, kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada, termasuk dengan kekuatan atau tanpa meng­hiraukan landasan yang menjadi kemungkinan itu.[5] Selanjutnya dalam Dictionary of Sociology, kekuasaan diartikan sebagai kemam­puan atau wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa atau mengendalikan mereka sampai mereka patuh, mencampuri kebebasannya, dan memaksakan tindakan-tindakan dengan cara tertentu.[6]

Dengan mengutip Foucault, Haryatmoko[7] menegaskan bahwa kekuasaan terlaksana bukan pertama-tama melalui keke-rasan atau hasil persetujuan, tetapi seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rang-sangan, persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan pertama-tama bukan represi atau pertarungan kekuatan dan bukan juga fungsi dominasi suatu kelas yang dida-sarkan pada penguasaan atas ekonomi, atau manipulasi ideologi. Kekuasaan adan di mana-mana dan bukannya kekuasaan mencakup semua, tetapi kekuasaan datang dari mana-mana.

Pada dasarnya terminologi kekuasaan selalu terkait dengan hakikat, wewenang, dan dasar legitimasi. Hakikat kekuasaan ber-sentuhan dengan hal sebenar-benarnya. Dari segi hakikat, kekuasaan adalah kekuatan, kemampuan, atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu dan mengandung makna wewenang atas sesuatu pula.[8] Dalam berbagai pemikiran, pengertian ini berkem-bang dan mempunyai heterogenitas persepsi sesuai dengan perspektif yang digunakan.

Kekuasaan juga diartikan sebagai dominasi dari pengawasan. Barrington Mooore memberikan definisi yang berorientasi kepada metode atau cara bagaimana golongan-golongan individu-indivud tertentu berhasil melakukan dominasi terhadap sesamanya. Ada-pun Talcots Parson dan Robert Lync cenderung merumuskan kekuasaan sebagai kekuatan untuk mengawasi atau melakukan pengawasan. Parsons menganggap kekuasaan sebagai pemilihan fasilitas-fasilitas untuk menguasai, sedangkan Robert Lync menganggap kekuasaan sebagai sumber sosial yang utama untuk mengadakan pengawasan.[9]

Mengenai darimana datangnya kekuasaan, Parson menyebut kekuasaan sebagai suatu sumber sistem yang dilihat dari sudut konsensus dan legitimasi, merupakan suatu kemampuan untuk menjamin pelaksanaan kewajiban yang mengikat (terhadap tujuan-tujuan kolektif yang disepakati) dari satuan-satuan yang ada di dalam suatu sistem organisasi yang kolektif, dan jika ada perlawanan, maka ada lembaga yang berkuasa penuh menegak-kannya dengan sanksi-sanksi  situasional yang bersifat negatif.[10] Dalam pandangan Engels kekuasaan itu berasal dari masyarakat dan berkuasa di atas masyarakat. Dari rumusan ini, kekuasaan dapat ditarik pada oengertian yang lebih umum, yaitu sebagai suatu kesempatan bagi seseorang atau kelompok untuk mewu-judkan kehendaknya dalam bentuk suatu aksi sosial bagi mereka yang menentang maupun tidak.[11] Secara lebih jernih Hannah Arendt memperlihatkan bahwa kekuasaan (power) harus dibedakan dengan tajam dari paksaan dan penindasan (force). Menurutnya, kekuasaan adalah suatu pola hubungan antar-manusia yang tinggi derajatnya dan hidup dari pengakuan bebas mereka yang berada dalam hubungan kekuasaan itu.[12]

Di sisi lain, J. Geltung menyebut 3 sumber kekuasaan, yaitu: (1) kekuasaan yang diperoleh karena pembawaan sejak lahir yang berhubungan dengan dimensi “ada” (being power); (2) kekuasaan yang diperoleh karena “memiliki” sumber-sumber kemakmuran (having power); dan (3) kekuasaan yang diperoleh karena “kedudukan” seseorang dalam suatu struktur (structure power).[13]

Masih soal sumber kekuasaan, Weber menyebut adanya 3 sumber legitimasi kekuasaan yaitu karismatis, tradisional, dan rasional. Legitimasi karismatis bertumpu pada kesetiaan terhadap keistimewaan yang menonjol dari seseorang dan kepada tatanan yang dikeluarkan oleh orang yang menjadi sanjungan kesetiaan tersebut. Legitimasi tradisional didasarkan atas kepercayaan yang telah mapan dan melembaga mengenai tradisi turun temurun, termasuk kepercayaan pada legitimasi mereka yang menjalankan kekuasaan atas dasar tradisi tersebut. Terakhir, legitimasi rasional didasarkan kepada kepercayaan kepada pola-pola dari kaidah-kaidah normatif dan terhadap hak dari mereka yang memiliki otoritas, yang muncul dari kaidah-kaidah tersebut, untuk menge-luarkan perintah-perintah.[14]



[1] Masyarakat pada hakekatnya terdiri dari pelbagai lembaga kemasyarakatan yang saling mempengaruhi dan susunan lembaga kemasyarakatan tadi didasarkan kepada suatu pola tertentu. Suatu perubahan sosial biasanya dimulai pada suatu lembaga kemasyarakatan tertentu dan perubahan tadi akan menjalar kepada lembaga-lembaga kemasyarakatan lain. Periksa lebih lanjut: Soerjono Soekanto, 1982, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: UI-Press, hlm. 158-162.
[2] Ibid., hlm. 86.
[3] Ibid., hlm. 87.
[4] S. Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm. 20-21. Tentang hal ini, S. Rahardjo memberikan pendapat yang hampir senada. Kekuasaan dibutuhkan oleh hukum agar ia mampu menjalankan fungsinya, seperti misalnya sebagai kekuatan pengintegrasi atau pengkoordinasi proses-proses dalam masyarakat. Meskipun hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak boleh membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum. Secara bernas hendak dikatakan bahwa dalam tali temali yang rumit antara hukum dan kekuasaan ini, maka hukum merupakan sarana mengontrol kekuasaan pada orang-orang, menyalurkan kekuasaan, sekaligus sumber kekuasaan. Periksa lebih lanjut dalam S. Rahardjo, 1996, Ilnu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 146-148.
[5] Roderick Martin, 1993, Sosiologi Kekuasaan, Jakarta: Rajawali Press, hlm. 71.
[6] Rosiani, “Membatasi Kekuasaan”, Kompas, 18 Mei 1993.
[7] Haryatmoko, op.cit., hlm. 217. Paradigma kekuasaan menurut Foucault dengan demikian tidak terjebak ke dalam konsep kekuasaan sebagai “yang bisa dimiliki” akan tetapi sebagai konsep tujuan atau sasaran kekuasaan.
[8] Definisi kata “kuasa” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996,  Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, hlm. 528.
[9] Miriam Budiardjo, 1991, Aneka Pemikiran tentang Kekuasaan dan Wibawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 31.
[10] Parson, 1967, Sociological Theory and Modern Society, New York: Free Press, hlm. 308.
[11] Anthony Giddens dan David Held, 2000, Pendekatan Klasik dan Kontemporer mengenai Kelompok Kekuasaan dan Konflik, Jakarta: Rajawali Press, hlm. 21-23.
[12] Lihat Frans-Magnis Suseno, kata pengantar dalam Hikam, op.cit., hlm. xii.
[13] J. Galtung, 1973, The European Community: A Super Power in the Making, dalam Rusiani, loc.cit.
[14] Max Weber, 1969, The Theory of Social and Economic Organisation, New York: The Free Press, hlm. 328.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar