Selasa, Oktober 19, 2010

Konstitusi : Mengatur dan Mengendalikan Kekuasaan

B.   Konstitusi : Mengatur dan Mengendalikan Kekuasaan

Dalam perjalanan sejarah, kekuasaan dengan berbagai bentuk tersebut sering disalahgunakan dengan menggunakan berbagai pola oleh orang-orang yang memilikinya untuk keuntungan pemegang kekuasaan[1]. Pada jaman sekarang, biar penyalah-gunaan kekuasaan tersebut seakan-akan dibenarkan oleh hukum, biasanya para pemimpin negara melakukan rekayasa konstitusi atau diselubungi oleh berbagai rasionalisasi seperti untuk pem-bangunan, demi kepentingan umum, serta guna memajukan kesejahteraan rakyat.[2]

Konstitusi sebenarnya membawa pesan tentang bagaimana kekuasaan pemerintah distrukturkan. Isi dari konstitusi memang berbeda-beda antarnegara, namun pada intinya sering memuat 4 fungsi sebagai berikut. Pertama, konstitusi memberikan rancangan bagi terbentuknya struktur pemerintahan. Kedua, konstitusi mem­be­rikan kekuasaan bagi unit-unit pemerintahan. Ketiga, konstitusi menyatakan konsensus tentang tujuan apa yang akan dicapai oleh suatu pemerintah. Asumsi dasarnya adalah bahwa tidak ada masyarakat yang tidak majemuk, baik secara kultural, profesi, maupun etnik. Mengingat hukum berisi kemajemukan semacam ini, kepentingan yang sangat beragam selalu hadir dalam masya­rakat. Kehadiran konstitusi dalam konteks kemajemukan sema­cam ini dapat juga disebutkan sebagai refleks adanya konsensus tersebut. Keempat, konstitusi menciptakan suatu pemerintahan yang stabil untuk perubahan pemerintah. Biasanya ada 2 rumusan dasar yang implisit terkandung di dalam konstitusi yaitu formula untuk mewujudkan “stabilitas” dan formula untuk mengijinkan adanya perubahan.[3]

Singkat kata, suatu konstitusi merupakan buatan manusia dan dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin negara dan para sarjana serta praktisi politik untuk dipatuhi rakyat. Ini merupakan fenomena sosial dan mencerminkan adanya nilai-nilai, ide-ide, kepentingan-kepentingan golongan, dan juga kepentingan peru­mus­nya. Suatu konstitusi dengan demikian dipahami sebagai produk dari suatu proses politik yang seharusnya secara demo­kratis menampung dan menyalurkan aspirasi-aspirasi politik yang utama, yang sebenarnya mencerminkan pandangan rakyat ten­tang tata norma etis sosial, ketertiban umum, keadilan, tata nilai sosial, dan budaya, peranan serta hubungan antar lembaga-lem­baga sosial.[4] Di samping itu, melalui konstitusi rakyat juga menyatakan keinginan tentang bagaimana persoalan peralihan kekuasaan negara harus dilakukan dan bagaimana kekuasaan itu harus diselenggarakan oleh pemerintah. Dengan cara demikian, konstitusi sebenarnya merupakan instrumen untuk merakyatkan pemerintah sebagai penyelenggara kekuasaan negara dan men­jauh­kannya dari kemungkinan untuk menjadi kekuasaan absolut itu sendiri. Namun karena konstitusi dibuat bukan hanya untuk dijalankan oleh pemerintah belaka, melainkan juga seluruh rakyat, pada akhirnya dia merupakan seperangkat aturan permainan yang mengikat bagi pihak yang mengemban mandat untuk meme­rintah maupun bagi mereka yang memberikan mandat tersebut.

Tetapi kadang-kadang konstitusi, entah disengaja atau karena substansinya yang tidak memuaskan, sering dimanfaatkan oleh segelintir penguasa guna mengintepretasikannya sendiri atau dengan mengubah konstitusi sesuai dengan kehendaknya.[5] Keada­an demikian sudah barang tentu akan mengurangi kadar keseimbangan politik yang diatur oleh konstitusi. Dimaksudkan dengan keseimbangan politik di sini bukanlah sekadar keseim­bangan diantara kepentingan atau aspirasi politik yang hidup di tengah masyarakat. Keseimbangan politik semacam itu malahan  tidak pernah ada, jika berdasarkan prinsip demokrasi hanya aspi­rasi politik yang mewakili kaum mayoritas yang bisa mengi­rimkan kaum mayoritas itu ke kursi pemerintahan.[6] Konstitusi modern dengan demikian menghendaki keseimbangan propor­sional ketimbang mengagungkan kepentingan mayoritas semata. Arti­nya, mayoritas politik yang berkuasa semestinya akan menam­pung aspirasi politik yang menjadi kepentingannya sean­dainya ia berposisi sebagai minoritas politik. Konsekuensi lebih jauh adalah keseimbangan politik merupakan keadaan di mana perselisihan politik dan masyarakat diselesaikan secara transparan dan rasional menurut tolok ukur yang diatur oleh konstitusi. Jika perselisihan politik masih diselesaikan di luar kerangka konstitusi dan hukum yang tersedia, maka konstitusi dan keseluruhan kom­pleks hukum yang bersandar kepadanya itu bukan saja tidak berlaku, negara yang bersangkutan malahan harus dianggap sebagai masih berada dalam tahapan pra negara hukum.

Fakta membuktikan bahwa adanya cita-cita politik yang diru­muskan sebagai konsensus, dibentuknya konstitusi yang demo­kratis, dan timbulnya keseimbangan politik belum juga membe­rikan jaminan bahwa semua dans etiap orang akan “bermain” sesuai dengan konstitusi. Sejarah umat manusia setiap kali dapat memperlihatkan bahwa konstitusi tidak selalu cukup ampuh untuk menangkal jalan pintas kekuasaan yang tidak demokratis. Cerita itu tak saja dibuktikan di Amerika Serikat, Prancis, atau Jerman, melainkan juga di negara dengan tradisi demokratis yang sedang berkembang.[7] Hal itu merupakan bukti bahwa kekuasaan adalah panglima dalam kehidupan manusia dan hukum mengab­di kepada kesepakatan itu. Krisis kenegaraan terjadi manakala terjadi diskrepansi antara kekuasaan dan hukum yang berlaku.

Merenungkan dan menggagasas lebih lanjut mengenai kaitan antara hukum dan kekuasaan ternyata membawa kepada pema­haman dalam suatu medan permasalahan yang tidak sederhana. Kalau secara sepintas hubungan antara keduanya hanya saling menolak dan meniadakan, maka dalam pengamatan lebih jauh, hukum dan kekuasaan menampilkan kompleksitas perbauran yang lebih kaya. Menurut S. Rahardjo, dari optik sosiologis kon­disinya tidak sedemikian itu.[8] Orang biasa mengatakan, bahwa begitu datang orde hukum, maka sekalian praktik yang menggu­na­kan kekuasaan telanjang menjadi berhenti atau ditabukan sama sekali. Tetapi, optik sosiologis menemukan kenyataan bahwa kekuasaan itu tetap ada secara laten dan pada saat tertentu dapat muncul kembali, dalam hal ini dengan menggunakan hukum sebagai selimut. Keadaan seperti itulah yang pernah disinggung oleh oleh Alvin Toffler. Pada waktu menceritakan, betapa dunia makin bergeser dari praktik menggunakan kekuasaan atau kekuatan kepada pendayagunaan otak, maka harus diakui, bahwa kekuatan itu sering muncul kembali dalam baju yang lebih halus, antara lain melalui hukum.

Kekuatan dan kekuasaan yang pada masa sebelumnya dapat bergerak bebas sekarang harus mencari sandaran atau legitimasi­nya pada hukum, tetapi bagaimanapun tetapi tetap saja ia tampil sebagai kekuatan atau kekerasan. Hukum adalah kekuasaan yang diorganisasikan kembali sehingga menjadi “lebih beradab” dan tidak tampak ketelanjangannya. Pembuatan undang-undang, penga­dilan, polisi, aparat birokasi, dan penjara, misalnya, merupa­kan penjabaran kekuasaan negara ke dalam orde hukum. Manusia warganegara setiap saat berada pada ujung “penodongan” kekuasaan semacam itu. Orang harus mematuhi hukum atau menerima risiko berhadapan dengan polisi.

Jika demikian, apakah kekuasaan itu bersifat netral? Menurut S. Rahardjo[9], hal tersebut bergantung kepada penggunaannya. Sekalipun demikian tidak dapat dihilangkan kesan bahwa keku­asa­an itu memiliki kecenderungan tertentu yang lebih kuat daripada sifat netral sebagaimana dikatakan di muka. Dalam kerangka pemahaman yang demikian, merupakan hal yang tidak benar jika kekuasaan itu netral. Kekuasaan itu memiliki bakat untuk menjurus kepada praktik negatif, sebagaimana nampak dalam adagium populer yang disampaikan oleh Lord Acton bahwa “kekuaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak juga akan melakukan korupsi secara besar-besaran.” Hal tersebut mendorong pemikiran untuk menciptakan bangunan pera­daban baru yang boleh dikatakan bertolak dari pemahaman kekuasaan yaitu demokrasi dan negara hukum. Bangunan terse­but penuh dengan rambu-rambu dan pagar-pagar untuk menga­mankan warganegara dari ulah kekuasaan yang dikatakan ber-watak jahat itu.

Diskusi tentang fungsi konstitusi di atas dapat diterima jika negara dalam kondisi “normal”, namun acapkali gagal jika diha-dapkan pada situasi “tidak normal.” Kenyataan membuktikan bahwa sistem ketatanegaraan suatu negara bukanlah konsep yang statis, terutama bagi negara-bangsa yang belum mempunyai tradisi demokrasi yang mapan. Menurut  Gregorius Sahdan, fung-si konstitusi pada masa transisi mulai diperdebatkan ketika terjadi transisi ke demokrasi mulai pasca Perang Dunia II, ketika banyak rezim otoritarian tumbang dari kursi kekuasaannya.[10] Kajian-kajian akademik tentang transisi ke demokrasi itu cukup banyak, namun mayoritas berkutat kepada gambaran bagaimana suatu rezim otoritarian yang tampak tangguh dan otonom roboh dalam sekejap mata. Sejumlah ilmuwan yang melakukan kajian itu, antara lain Robert Harvey (Portugal: Birth of Democracy), Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter (Transition From Authoritarian Rule: Tentative Conclusions About Uncertain Democraties), dan Huntington (the Third Wave of Democracy).

Secara umum, ada 3 (tiga) karakter yang memberi warna kepada setiap masa transisi ke demokrasi, yaitu, pertama, transisi itu mesti disertai dengan rekonstruksi konstitusi dan sistem pemilu yang baru. Kedua, transisi itu harus disertai oleh penying-kiran terhadap aparatus status quo yang menghalang-halangi perubahan ke demokrasi. Ketiga, melakukan pemetaan secara jelas antara pendukung status quo dengan kekuatan penentangnya, sehingga rezim demokratis mampu mengambil langkah yang tegas untuk beralih ke demokrasi[11]. Di samping itu, dalam masa transisi itu juga harus diselesaikan persoalan-persoalan di masa lalu, seperti penyalahgunaan kekuasaan dan kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Selanjutnya, penyusunan teori tentang watak dan peran konstitusi dalam masa-masa perubahan ketatanegaraan lazimnya dipandu oleh perspektif realis atau idealis, yang mana keduanya saling bertentangan.[12] Dalam pandangan realis, konstitusi dalam masa perubahan ketatanegaraan dianggap hanya mencerminkan kondisi perimbangan kekuasaan yang ada dan dengan demikian merupakan hasil dari perubahan politik. Dalam pandangan ini tidak menggambarkan apa yang membedakan penyusunan kons-titusi dengan jenis peraturan perundang-undangan yang lain. Dengan demikian, pandangan ini tidak memberikan banyak penjelasan tentang signifikasi watak dan peran konstitusi dalam masa transisi.

Di sisi lain, pandangan idealis, yang merupakan pendekatan dominan dalam studi konstitusionalisme dalam perubahan ketata-negaraan, menganggap ada kaitan yang erat antara revolusi dan penyusunan konstitusi. Pada masa transisi, konstitusi dianggap sebagai dasar tatanan kenegaraan yang baru. Pandangan idealis ini pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles. Dalam pandangan Aristoteles, konstitusi merupakan entitas organik yang bersifat normatif sekaligus deskriptif. Dengan demikian, perubahan kene-garaan yang revolusioner memiliki arti perubahan konstitusi. Secara sederhana, pandangan ini menyetarakan konstitusi dengan tatanan kenegaraan dengan implikasinya terhadap sifat dan peran utama konstitusi dalam masa perubahan ketatanegaraan.

Pandangan idealis di atas kemudian memperoleh kritik yang cukup tajam sebagaimana nampak dalam pemikiran Hannah Arendt dan Bruce Ackerman.[13] Menurut Hannah Arendt, konsep-tualisasi hubungan erat antara revolusi dan konstitusi tidak nampak karena keduanya merupakan satu kesatuan. Dalam para-digma ini, konstitusi merupakan sesuatu yang berbeda dari pengertian sebelumnya, yang diidentifikasikan dengan tatanan politik. Ia lebih menyerupai konstitusi dalam arti Magna Charta yang melindungi kebebasan-kebebasan negatif. Penyusunan konstitusi dianggap sebagai tindakan revolusioner yang paling utama dan mulia.

Melanjutkan pemikiran Hannah Arendt tersebut, Bruce Ackerman menyatakan klaim normatif yang kuat tentang penyu-sunan konstitusi sebagai dasar perubahan ketatanegaraan. Dalam pandangan ini, penyusunan konstitusi merupakan suatu “momen konstitusional” revolusioner yang menunjukkan keterpisahan dari rezim lama dan berdirinya tatanan politik baru. Menurut Ackerman, penyusunan konstitusi tidak hanya terbatas pada revo-lusi, tetapi juga pada kesempatan konstitutif lain yang potensial.

Pandangan idealis tentang konstitusi bersifat memandang ke depan dengan tujuan meninggalkan masa lalu dan bergerak ke masa depan yang lebih cerah. Penyusunan konstitusi dianggap sebagai dasar bagi tatanan demokratis baru. Bentuk ideal ini tidak tepat digunakanuntuk menjelaskan fenomena perubahan-peru-bahan ketatanegaraan dari watak otoritarian ke demokrasi. Dalam situasi demikian, konstitusi yang disusun sebagai akibat peru-bahan politik lazimnya menggantikan rezim konstitusional yang telah ada, dan bukan hal yang baru sama sekali.

Studi tentang konstitusi dalam masa-masa perubahan ketata-negaraan menunjukan bahwa berbagai bentuk transisi akan menimbulkan watak konstitusi yang bermacam-macam. Menurut Ruti G. Teitel,[14] ada 3 (tiga) kemungkinan watak konstitusi tersebut, yaitu, pertama, konstitusi kritis. Dalam hal ini konstitusi yang baru secara eksplisit merekonstruksi tatanan ketatanegaraan yang dikaitkan dengan ketidakadilan. Kedua, konstitusi resto-ratif.[15] Watak ini muncul jika konstitusi baru berfungsi untuk mengembalikan tatanan normatif sebelum rezim yang ditum-bangkan.[16] Ketiga, konstitusi residual. Watak ini lahir jika konstitusi baru merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya.[17]

Belajar dari pengalaman sejarah itulah, menimbulkan pemi-kiran untuk melakukan pembatasan terhadap kekuasaan. Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah itu perlu dibatasi pernah diru-muskan oleh seorang ahli sejarah Inggris, Lord Acton. Menu-rutnya, pemerintahan selalu diselenggarakan oleh politisi dan negarawan. Tetapi pada mereka tanpa kecuali selalu melekat kelemahan. Teorit itu


[1] Hal ini bertentangan dengan rasionalitas yang muncul semenjak zaman Aufklarung, di mana kriteria suatu negara yang modern adalah bila kekuasaan memerintah dalam negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum. Periksa: Budiono Kusumohamidjojo, op.cit., hlm. 217.
[2] Legitimasi akademik untuk menjelaskan keadaan tersebut antara lain adalah doktrin Welfare State di mana pemegang pemerintahan diberi tugas membangun kesejahteraanumum dalam berbagai lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kebebasan kepada administrasi negara dalam menjalankannya. Pemerintahan bebas untuk bertindak sendiri atas dasar Freies Ermessen atau pouvoir discretionnaire yaitu kemerdekaan yang dimiliki oleh pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial dan keleluasaan untuk selalu tirikat kepada produk legislasi parlemen. Lebih lanjut, periksa: E.Utrect, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Bandung: FHPM Universitas Padjajaran, hlm. 23-24.
[3] Paimin Napitupulu, 2004, Peran dan Pertanggungjawaban DPRD, Bandung: Alumni, hlm. 59-61.
[4] Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum: Problem Ketertiban yang Adil, Jakarta: Grasindo, hlm. 218. Dalam substansi yang mirip, Dario Castiglione menyatakan bahwa “The constitution in its functional sense, is therefore the general pattern according to which a society is ordered. Periksa dalam  Richard Bellamy dan Dario Castiglione, 1996, The Polical Theory of the Constitution, Oxford: Blackwell, hlm. 9.
[5] Usaha semacam ini dilakukan, antara lain oleh Augusto Pinochet, pemimpin Cile dengan merekayasa konstitusi (1980) yang mengatur bahwa mantan presiden yang sudah menjabat sekurang-kurangnya 6 tahun memiliki peluang untuk menjadi senator seumur hidup tanpa pemilihan. Usaha serupa terjadi di Zimbabwe, dimana Presiden Robert Mugabe dan Wakil Presiden Joshua Nikomo yang sudah berkuasa 18 tahun menentang usulan rakyat agar ada pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden hanya untuk dua kali masa jabatan. Parlemen, atas usul Andre Muntanage (dari partai penguasa, ZANUPF) menetapkan bahwa keduanya menjabat seumur hidup atas pertimbangan jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Periksa lebih lanjut: Heni Th. Lumenta, “Manipulasi Konstitusi demi Kelangsungan Kekuasaan”, Kompas, 4 April 1998.
[6] Hal ini sejajar dengan pandangan Tocqueville bahwa suatu kondisi nyata jika “a law of justice that applies to society in general, where soverignty belongs to mankind as a whole” yang berlaku sebagai superior law terhadap “democratic majoriyariansm.” Periksa: Richard Bellamy dan Dario Castiglione, op.cit., hlm. 20.
[7] Contohnya terjadi di Israel. Hari Sabtu, 4 November 1995 malam di Tel Aviv; Yitzhak Rabin (Perdana Menteri, mantan Letnan Jenderal, dan mantan Kepala Staf Angkatan Darat) ditembak mati dengan dua peluru pistol Beretta oleh Yigal Amir, seorang mahasiswa hukum Yahudi dari Universitas Bar Illan di Tel Aviv. Meskipun kemudian terungkap lain, di depen pengadilan Yigal Amir mengatakan bahwa pembunuhan yang dilakukannya setelah Rabin mengucapkan pidato pro-perdamaian Israel-Palestina adalah atas perintah Tuhan karena Rabin telah menyerahkan tanah Israel kepada Palestina. Periksa: Kompas, 5 dan 6 November 1995.
[8] Satjipto Rahardjo,
[9] S. Rahardjo, “Menilik Kembali Kekuasaan dalam Hukum Indonesia”, Kompas, 14 September 1996, hlm. 4.
[10] Gregorius Sahdan, 2004, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Yogyakarta: Pondok Edukasi, hlm. 2.

[11] Ibid., hlm. 362-363.
[12] Ruti G. Titel, 2000, Keadilan Transisional Sebuah Tinjauan Komprehensif (terjemahan), Jakarta: ELSAM, hlm. 398-397.
[13] Ibid., hlm. 399-401.
[14] Ibid., hlm. 406-407.
[15] Suatu gambaran yang menggambarkan konstitusi yang berwatak kritis adalah konstitusi Afrika Selatan pasca-apartheid. Konstitusi ini diibaratkan sebagai “jembatan bersejarah yang mengaitkan masa lalu suatu masyarakat yang terbelah yang dicirikan oleh pertikaan, konflik, penderitaan luar biasa, dan ketidakadilan, dengan masa depan yang dicirikan oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia, demokrasi, dan koeksistensi dama…bagi semua warga Afrika Selatan” (Bab XV Konstitusi Afrika Selatan). Dengan watak seperti itu, konstitusi Afrika Selatan pasca apartheid memberikan contoh penggunaan konstitusi transisional setelah berakhirnya pemerintahan otoriter. Konstitusi tersebut mengandung kesepakatan politik dan pergeseran dari pemerintahan oleh minoritas terhadap mayoritas warga yang tidak memiliki hak-hak politik ke sistem demokrasi pewakilan. Perubahan konstitusi diawali dengan pengesahan konstitusi sementara oleh parlemen lama dengan klausula akan disusun sebuah konstitusi lain yang prospektif. Contoh lain mengenai watak kritis dari sebuah konstitusi menjelma dalam “konstitusi sang pemenang” seperti yang terjadi di Jepang dan Jerman. Dengan disahkan di bawah dominasi Amerika Serikat dan dirancang oleh sebuah kelompok kecil di bawah arahan Jenderal Douglas MacArthur serta dimintakan ratifikasi secara “paksa” kepada parlemen Jepang, konstitusi Jepang tahun 1946 dirancang untuk mentransformasi peninggalan represif di masa lalu. Tujuan eksplisit konstitusi itu adalahuntuk mengubah kecenderungan politik ke arah militerisme dan nasionalisme imperialistik. Kekuasaan Jepang untuk menyatakan perang dihilangkan sama sekali dan peran kaisar diturunkan “sekadar” sebagai kepala negara. Kasus yang serupa tetapi tidak sama terjadi di Jerman. Meskipun menyerah tanpa syarat setelah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, perubahan politik dalam Perang Dingin memberikan posisi tawar dalam reformasi konstitusi Jerman. Pasukan Sekutu memang mendorong tetapi tidak mengendalikan pembentukan konstitusi. Maka, walaupun Sekutu menyerukan agar suatu badan konstituante bersidang untuk merancang konstitusi yang akan disahkan melalui referendum, Jerman menenang tuntutan untuk menyusun konstitusi permanen dan hanya mensahkan konstitusi yang dirancang untuk berlaku sementara. Konstitusi tersebut dirancang untuk diratifikasi oleh parlemen yang pelaksanaanya ditunda sampai terjadinya reunifikasi. Namun momen konstitusional itu tidak pernah terjadi sampai penyatuan kembali Jerman pada   3 Oktober 1991.  Watak kritis dari konstitusi Jerman adalah untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan yang memungkinkan terjadinya kejahatan oleh rezim lama. Untuk itu, konstitusi secara agresif melawan kecenderungan fasis dalam tatanan politik yang berpuncak pada kediktatoran Nazi. Kekuasaan presiden dijadikan simbol belaka dan diserahkan kepada mekanisme parlementer.
[16] Studi tentang konstitusi yang berwatak restoratif juga banyak diambil dari pasca runtuhnya komunis. Di bekas Cekoslowakia, Konstitusi 1920 menjadi dasar rancangan untuk “konstitusi baru” setelah revolusi. Di Latvia, elemen-elemen konstitusi 1922 beserta undang-undang yang disahkan oleh parlemen telah berlaku sejak Mei 1990. Konstitusi 1938 menjadi dasar rancangan konstitusi baru Estonia dan dasar rancangan konstitusi Georgia adalah Konstitusi 1921.  dengan menciptakan konstitusi restoratif itu, negara-negara tadi mampu menghindari rezim yang terkait dengan komunisme. Namun, beberapa negara kembali ke struktur restoratif ini hanya karena romantisme untuk mencapai stabilitas.
Watak restoratif juga dijumpai dalam perubahan konstitusi di Spanyol, Portugal, Brasil, Cili, Argentina, dan Kolumbia. Dalam transisi di Eropa Selatan, misalnya, Konstitusi 1978 pasca-Franco membantu mengarahkan Spanyol untuk menghindari pemerintahan militer. Treansisionalitas tersebut dicerminkan dari tidak adanya pencabutan kekuasaan militer secara mutlak; meskipun militer harus tunduk kepada supremasi sipil, banyak dari susunan pembagian kekuasaan yang baru masih belum ditetapkan.
[17] Watak residual dari konstitusi umumnya muncul dari proses perubahan ketatanegaraan pasca runtuhnya otoritarianisme, keruntuhan komunisme, atau perubahan kenegaraan sebagai hasil negosiasi. Perubahan ketatanegaraan di bekas negara Uni Soviet pada umunya terjadi secara damai sehingga tidak memiliki satu titik balik atau pemutusan dengan rezim lama sehingga tidak berpuncak pada perubahan konstitusi secara mendasar. Bertahun-bertahun setelah perubahan, di sebagian besar negara di kawasan tersebut terdapat kontinuitas konstitusional. Bahkan negara-negara yang berada dalam tahapan reformasi ekonomi yang lebih lanjut masih bergantung kepada dokumen-dokumen eks komunis yang telah direvisi. Hongaria, misalnya, masih menggunakan konstitusi era Soviet yang telah diperbaiki. Dalam sebagian besar masa transisinya, Polandia menggunakan Konstitusi Kecil, suatu konstitusi sementara yang hanya menjelaskan struktur umum ketatanegaraan dan baru pada bulan April 1997 dicapai konsensus tentang konstitusi baru.  Di Rusia, perdebatan tentang legitimasi parlemen era Soviet dan konstitusi mengarah kepada krisis yang berpuncak kepada keputusan ekstrakonstitusional. Di Estonia, pemilu presiden dan parlemen di tahun 1992 diadakan sesuai Konstitusi 1938 yang komunis.  Bahkan sampai dengan tahun 1994, Albania belum memiliki konstitusi baru. Proses negosiasi menghasilkan konstitusi yang berfungsi meratifikasi kesepakatan yang membangun pergeseran politik, selain mengembalikan tatanan dari masa sebelumnya. Bagi sebagian besar negara di bekas Uni Soviet, pergeseran menuju rezim yang dipilih secara demokratis dilakukan melalui pembicaraan antara partai komunis dengan oposisi. Di Hongaria, misalnya, proses penyelesaian negosiasi dengan penyusunan rancangan konstitusi berlangsung dalam proses yang selalu terancam runtuhnya konsensus politik. Dengan demikian, reformasi konstitusi tidak dilakukan dengan pertimbangan yang panjang dan segera diputuskan oleh parlemen.Studi tentang konstitusi yang berwatak restoratif juga banyak diambil dari pasca runtuhnya komunis. Di bekas Cekoslowakia, Konstitusi 1920 menjadi dasar rancangan untuk “konstitusi baru” setelah revolusi. Di Latvia, elemen-elemen konstitusi 1922 beserta undang-undang yang disahkan oleh parlemen telah berlaku sejak Mei 1990. Konstitusi 1938 menjadi dasar rancangan konstitusi baru Estonia dan dasar rancangan konstitusi Georgia adalah Konstitusi 1921.  dengan menciptakan konstitusi restoratif itu, negara-negara tadi mampu menghindari rezim yang terkait dengan komunisme. Namun, beberapa negara kembali ke struktur restoratif ini hanya karena romantisme untuk mencapai stabilitas.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar